MAKALAH

STUDI ISLAM KOMPREHENSIF

 

tentang

 

PROBLEAMTIKA HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM



 

Oleh:

NIKEN AMANDA                   : 20200040019

 

 

Dosen Pembimbing:

 

Dr. Zulfikri,M.A

 

 

 

 

 

 

 

 

 PROGRAM PASCASARJANA PRODI HUKUM KELUARGA

UNIVERSITAS  ISLAM NEGERI (UIN) 

IMAM BONJOL PADANG

2020 M / 1442 H

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang                   

Hadits merupakan salah satu sumber ajaran umat islam setelah Al-Quran dan salah satu fungsi hadits yaitu sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Quran yang dianggap samar maknanya. Selain sebagai penjelas fungsi hadits yang lainnya yaitu untuk menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam al-Quran, serta menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam al-Quran. 

Karena hadits memiliki isi yang lebih transparan dari al-Quran, sehingga lebih mudah untuk dikeritisi, bahkan oleh non muslim. Sehingga banyak non muslim yang tidak menyukai umat islam menjadikan hadist untuk menyelewengkan umat muslim maka dari itu agar kita terhindar dari kekeliruan terhadap sebuah hadits maka dibuatlah makalah mengenai problematika hadits sebagai dasar ajaran Islam.

 

B.     Rumusan Masalah

a)     Bagaimana Problematika Hadits mengenai Pemalsuan Hadits? 

b)     Bagaimana Problematika Hadits mengenai Inkar As-Sunnah?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

A.     PEMALSUAN HADIST

1.      Pengertian Hadis Maudhu’

Secara bahasa, Al-maudhu’ adalah isim marf’ul dari wa-dha-a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakan atau menyimpan), al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat) dan al-tarku (ditinggal).[1]Meskipun demikian, kata al-maudlu secara kebahasaan memliki beberapa kontasi makna yang berbeda-beda, tetapi mengarah pada satu pengertan yang sama.

Sedangkan pengertian hadis maudhu secara istilah adalah  sebagai: 

مانُسب الى الرّسول صلى الله عليه وسلّم اختلا قًا وكذبًا ممّا لم يقلْه أو يفعله أو يقرّ

 

Artinya: Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw secara dibuat-buat dan dusta, padahal Beliau tidak mengatakan dan melakukannya

 

Sedangkan menurut sebagian ‘Ulama hadits, pengertian Hadits Maudhu’ adalah:

هو المختلع المصنوع المنصوب الى رسول الله صلى الله عليه وسلّم زورًا وبهتا نًا سواءٌ كان ذالك عمدًا أم خطأً

Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinishbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja maupun tidak.[2]

 

 

 

Beberapa unsur penting dalam bacaan definisi al-maudhu adalah sebagai berikut:[3]

·         Unsur al-wadh’u (pembuatan) atau (dibuat-buat). Artinya, apa yang disebut sebagai hadis “buatan” dia sendiri, “bukan ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.

·         Unsur al-kadzibu (dusta) atau (menipu). Artinya, apa yang dikatakan rawi sebagai hadis Nabi adalah “dusta” dan “tipuan” belaka dari dirinya sendiri, karena bukan dari Nabi. Hanya dia yang mengatakan bahwa hadis itu berasal dari Nabi.

·         Unsur al-amdu (sengaja) dan al-khatha’u (tidak sengaja). Artinya, pembuatan hadis dusta yang disebut sebagai hadis nabi itu dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja.

 

Dari ketiga unsur tersebut, unsur yang paling dominan dalam menentukan perwujudan hadis maudhu dusta (kidzib). Oleh karena itu, Nabi sangat berpesan agar menghindari dusta (kidzib) dalam meriwayatkan hadis, dan juga memberi ancaman terhadap setiap pelaku kedustaan riwayat nabi.

Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut para ulama yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’ adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak memperbuatnya dan tidak mentaqrirkannya.

Pengertian hadis maudhu secara kebahasaan dan keistilahan mempunyai hubungan kesinambungan cakupan makna dan sasaran antara pengertian keadaannya.

a)     Al- hiththah mengandung arti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang terbuang atau hadis yang terrlempar dari kebahasaan yang tidak memiliki dasar sama sekali untuk diangkat sebagai landasan hujjah

b)     Al-isqath, mengandung arti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang gugur, tidak boleh diangkat sebagai dasar istidal.

c)      Al-islaq mengandung arti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang ditempelkan (diklamikan) kepada nabi Muhammad agar dianggap berasal dari Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.

d)     Al-ikhtilaq mengandung arti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang dibuat-buat sebagaapan yangi ucapan,perbuatan, atau ketetapan yang berasal dari Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.

 

2.      Masa Awal Kemunculan Hadis Maudhu’

Pada mulanya, para mutakallim berbeda pendapat tentang benar atau tidaknya terjadi pemalsuan dalam hadis jika dilihat dari segi periwayatannya. Hal ini karena dari segi periwayatannya, terjadi status ke-maudhu-an hadis didasarkan atas kedustaan atau tertuduh dusta. Ibn katsir mensinyalir bahwa bisa saja terjadi pemalsuan hadis secara menyeluruh sebagian yang lainnya menyatakan pada fakta empiris sejarah masyarakat islam, memang terjadi pemalsuan dalam riwayat hadis yang banyak beredar di masyarakat. Hal ini terbukti setelah dilakukan penelitan para ulama muhaddisin.

Munculnya pemalsuan hadits berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam. Dimulai dengan terbunuhnya Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin Affan, dilanjutkan dengan pertentangan yang semakin memuncak antara kelompok  ta’ashub Ali bin Abi Thalib di Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi perselisihan yang tidak bisa terelakan lagi. Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan al- Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullahshollallahu’alaihi wasallam untuk mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejarah timbulnya hadits palsu dikalangan umat islam.[4]

Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya lakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu yaitu sebagai berikut:

a.       Pertentangan politik

Pertentangan politik ini terjadi karena adanya perpecahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya, dan mereka saling membela golongan yang mereka ikuti serta mencela golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada polemik pertentangan kelompok ta’ashub Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah sehingga terbentuk golongan syi’ah, khawariz, dll. yang berujung pada pembuatan hadits palsu sebagai upaya untuk memperkuat golongannya masing-masing. 

b.      Usaha kaum Zindiq

Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, sehingga menggunakan cara yang paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuanhadits, dengan tujuan menghancurkan agama islam dari dalam. Salah satu diantara mereka adalah Muhammad bin Sa’id al-Syami, yang dihukum mati dan disalib karena kezindiqannya. Ia meriwayatkan hadits dari Humaid dari Anas secara marfu’ :

أناخاتمُ النبيّين لا نبيّ بعديْ إلاّ أن يشاءالله

Aku adalah nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahku, kecuali yang Allah kehendaki

 

 

c.       Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan

Salah satu tujuan pembuatan hadits palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan sebagainya. Itu disebabkan karena kebencian, bahkan balas dendam semata. Sebagai contoh, menurut keterangan al-Khalily, salah seorang penghafal hadits, bahwa kaum Rafidhah telah membuat hadits palsu mengenai keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib dan ahlu al-Bait sejumlah 300.000 hadits.[5]

d.      Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat

Kelompok yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Jadi pada intinya mereka membuat hadits yang disampaikan kepada yang lainnya terlalu berlebih-lebihan dengan tujuan ingin mendapat sanjungan.

e.       Perbedaan pendapat dalam masalah ‘Aqidah dan ilmu Fiqih

Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah ini berasal dari perselisihan pendapat dalam hal ‘aqidah dan ilmu fiqih para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing. Misalnya hadits palsu yang isinya tentang keutamaan Khalifah ‘Ali bin Abi Thaalib:

عليّ خيرالبشرمَن شكّ فيه كفر

Ali merupakan sebaik-baik manusia, barangsiapa yang meragukannya maka ia          telah kafir.[6]

f.       Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang dilakukan

Sebagian orang sholih, ahli zuhud dan para ulama akan tetapi kurang didukung dengan ilmu yang mapan, ketika melihat banyak orang yang malas dalam beribadah, mereka pun membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah dan menjunjung tinggi agama-Nya melalui amalan yang mereka ciptakan, padahal hal ini jelas menunjukan akan kebodohan mereka. Karena  Allah dan Rasul-Nya tidak butuh kepada orang lain untuk menyempurnakan dan memperbagus syari’at-Nya.

g.      Pendapat yang membolehkan seseorang untuk membuat hadits demi kebaikan

Sebagian kaum muslimin ada yang membolehkan berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk memberikan semangat kepada umat dalam beribadah, padahal para ’ulama telah sepakat atas haramnya berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, apapun sebab dan alasannya.

 

3.     Tokoh-Tokoh Pemalsuan Hadis

            Diantara tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pembuat hadits palsu adalah:

1.      Abd al-Karim bin Abu al-‘Auja.Ia mengaku telah membuat hadits palsu sebanyak 4.000 hadits. Isi hadits-hadits tersebut menyangkut penghargaan terhadap hal yang halal dan penghalalan terhadap yang haram. Pengakuan itu diumgkapkan sebelum naik tiang gantungan. Sebagai hukuman atas perbuatannya memalsukan hadits, ioa dijatuhi hukuman mati oleh Muhammad bin Ali, gubernur wilayah Basrah di Iraq.

2.      Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam.Ia adalah seorang ulama besar yang menguasai berbagai disiplin ilmu hingga disebut sebagai al-jami. Ia pernah belajar fikih kepada Abu Hanifah dan Abu Laila, belajar ilmu hadits kepada Hajaj bin Artah, belajar tafsir kepada al-Kalby, dan belajar sejarah kepada Muhammad bin Ishaq. Sayangnya, dia membuat hadits palsu tentang keutamaan surah-surah tertentu dalam al-Qur’an. Pemalsuan hadits ini dilakukakan karena menurutnya banyak ummat islam yang telah berpaling dari ajaran al-Qur’an dan sibuk dengan fikih ala Abu Hanifah dan sejarah yang dikemukakan oleh Muhammad bin Ishaq. Dengan pemalsuan hadits tersebut diharapkannya umat islam kembali pada al-Qur’an.

3.      Abu al-Khatib bin Diyah Ia adalah seorang yang telah membuat hadits palsu tentang shalat qasar maghrib.Menurut seorang ulama besar dari Baghdad yang menulis kitab Tarjamah Abd al-Aziz Ibn Harits at-Tamimi al-Hanbali, Abu al-khatib bin diyah mempunyai kebiasaan jika berfatwa dan tidak ia menemukan dalilnya maka ia membuat hadits palsu untuk melegalisasikan fatwanya.

Disamping tokoh-tokoh tersebut, masih banyak lagi tokoh lain, seperti Aban Bin Jafar an-Numairi, Ibrahim Bin Zaid al-Asqalani, Ahmad Bin Abdullah al-Juwaibari, Muhammad Bin Syuja al-Laisi, Haris Bin Abdullah al-Amar, Muqatil Bin Sulaiman, Al-Waqidi, Ibnu Abi Yahya, Ghulam Khalil, Ghiyas Bin Ibrahim, Jabir Bin Yazid al-Jufi, Abu Dawud al-Ama, Bayan Bin Saman al-Mahdi, Muhammad Bin Said al-Maslub al-Sami, Mughirah Bin Sad al-Kufi dan lain sebagainya.

 

4.     Kaidah-Kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’

            Ada beberapa patokan untuk mengidentifkasi bahwa hadits itu shahih atau palsu, di antaranya:

1)     Dalam Sanad

a.       Atas dasar pengakuan para pembuat hadis palsu, sebagaimana pengakuan Abu ishmah nuh bin Abi Maryam bahwa dia telah membuat hadis tentang fadhilah membaca Al-Quran, surat demi surat, Ghiyas bin Ibrahim, dll. Dalam kaitannya dengan masalah ini Al-Yuthi menyatakan bahwa surat-surat dalam Al-Quran yang didapati dalam hadis shahih hanyalah surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali-Imran, Al-An’am, dan surat yang panjang dari Al-Baqarah sampai Al-Bara’ah, Al-Kahfi, Surat Yasin, Al-Ikhlas Al-Mulk, Al-Mulk, Al-Zalzalah, Al-Nur, Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Dan Al-Muawidzatain. Selain itu hadisnya bukan hadis shahih.

b.      Adanya Qarinah (dalil) yang menujukan kebohongannya, sepert menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang syeikh, tapi ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung.

c.       Meriwayatkan hadis sendiran, semenatara di rawi dikenal sebgai pembohong. Sementara itu tidak ditemukan dalam riwayat lain, maka hadis ini dikatakan maudhu.

2)     Dalam Matan

a.       Buruknya redaksi hadis, padhal Nabi Muhammad SAW adalah seseorang yang pandai dalam berbahasa, santun dan enak dirsakan. Dari redaksi yang jelek akan berakibat kepada makna maupun maksud dari hadis Nabi SAW. Kecuali kalau perawi dapat menjelaskan bahwa hadis itu benar-benar menunjukan datang dari Nabi SAW.

b.      Maknanya Rusak. Ibnu hajar menerangkan bahwa kejelasn lafadz ini di titikberatkan pada kerusakan arti.

c.       Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan al-quran atau hadis yang lebih kuat atau ijma’.

d.      Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang besar atas perkara yang kecil.

e.       Hadis yang bertentangan dengan kenyataab sejarah yang benar-benar terjadi di masa Rasulullah SAW dan jelas-jelas nampak kebohongannya.

f.        Hadis yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat.

 

5.     Pengaruh dan Dampak Buruk Terhadap Hadis Palsu

            Hadits-hadits palsu yang banyak beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak dan sangat buruk pada masyarakat Islam diantaranya:

1.      Penyimpangan dalam beribadah        

2.      Munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat

3.      Matinya sunnah

 

6.     Upaya Penyelamatan Hadis

            Para ulama’ hadits menyusun berbagai kaidah penelitian hadits untuk menyelamatkan hadits Nabi SAW di tengah-tengah gencarnya pembuatan hadits palsu. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebnagai berikut:

1.      meneliti system sandaran hadits.

2.      Memilih perawi-perawi hadits yang terpercaya.

3.      Studi kritik rawi, yang lebih dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau kebohongannya.

4.      Menyusun kaidah-kaidah umum untuk memilih hadits-hadits,yaitu dengan mengetahui batasan-batasan hadits shahih, hasan dan dhaif.

            Mulai saat itu perkembangan ilmu hadits melaju bagitu cepat demi menyelamatkan hadits-hadits Rasul ini. Pada akhirnya, tujuan penyusunan kaidah-kaidah tersebut untuk mengetahui keadaan matan hadits. Bersamaan dengan itu muncullah berbagai macam Ilmu hadits, khususnya yang berkaitan dengan penelitian sanad hadits, antara lain ialah Ilmu Rijal Al-Hadits dan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil.

            Dengan berbagai kaidah dan ilmu hadits itu, ulama’ telah berhasil menghimpun berbagai hadits palsu dalam kitab-kitab khusus, seperti Al-Maudhu’ Al-Kubra, karangan Abu Al-Fari ‘Abd Al-Rahman bin Al-Jauzi (508-597 H) dalam 4 jilid, dll.

 

B.     INGKAR SUNNAH

1.      Pengertian Ingkar Sunnah

Kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “Ingkar” dan “Sunnah”. Kata “Ingkar” berasal dari akar kata bahasa Arab إِنْكَرَا يُنْكِرُ  إِنْكَرَ   yang mempunyai arti diantaranya :”Tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau  tidak mengetahui sesuatu. Misalnya Firman Allah :

فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ

 “Lalu mereka (saudara saudara Yusuf) masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf mengenal   mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya kepadanya.(QS.Yusuf (12) :58).

يَعْرِفُونَ نِعْمَةَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ

“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang orang yang kafir. (QS.An-Nahl (16) :83).

      Al Askari membedakan antara makna An Inkar dan Al Juhdu. KataAl Inkar terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedang Al Juhdu terhadap sesuatu yang nampak dan disertai dengan pengetahuan. Dengan demikian bisa jadi orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah dikalangan orang yang tidak banyak pengetahuannya tentang ulum hadits. Dari beberapa kata ”Ingkar” di atas dapat disimpulkan bahwa Ingkar secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain.

      Orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya ahli hadits disebut ahli bid’ah. Mereka itu, kaum Khawarij, Mu’tazilah dan lain lain karena mereka itu umumnya menolak sunnah.

      Ada beberapa definisi Ingkar Sunnah yanng sifatnya masih sangat sederhana pembatasannya diantaranya sebagai berikut :

a.       Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al Qur’an.

b.      Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari Sunnah shahih baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitasmutawatir atau ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang diterima.

Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa Ingkar Sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau kelompok bukan gerakan atau aliran, ada kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum Islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi dan lain lain. Paham Ingkar Sunnah bisa jadi menolak keseluruhan sunnah baik sunnah mutawatir dan ahad atau menolak yang ahad saja atau sebagian saja. Demikian juga penolakan sunnah tidak didasari alasan yang kuat, jika dengan alasan yang dapat diterima oleh akal sehat, seperti seorang mujtahid yang menemukan dalil yang lebih kuat daripada hadits yang ia dapatkan, atau hadits itu tidak sampai kepadanya, atau karena kedhaifannya atau karena tujuan syar’i yang lain maka tidak digolongkan Ingkar Sunnah.

 

1.     Perkembangan Ingkar Sunnah

            Sejarah perkembangan Inkar Sunnah hanya terjadi pada dua masa yaitu masa klasik dan masa modern. Sedangkan pada masa pertengahan Inkar Sunnah tidak muncul kembali, kecuali Barat mulai meluasakan kolonialismenya ke negara-negara Islam dengan menaburkan fitnah dan mencoreng citra agama Islam.

a)     Inkar Sunnah Klasik

            Inkar Sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H.) yang menolak kehujjahan sunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam baik mutawâtir atau âhâd. Imam Syafi’i yang dikenal sebagai Nâshir As-Sunnah (pembela Sunnah) pernah didatangi oleh orang yang disebut sebagai ahli tentang madzhab teman-temannya yang menolak seluruh sunnah, baik mutawâtir atau âhâd. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang ia ajukan. Namun semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis oleh Asy-Syafi’idengan jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi. Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada tiga kelompok pengingkar sunnah yang berhadapan dengan Asy-Syafi’i, yaitu:

1)     Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Alquran saja yang dapat dijadikan hujjah.

2)     Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Alquran.

3)     Hanya menerima sunnahmutawâtir saja dan menolak selain mutawâtir yakni sunnah âhâd.

            Inkar Sunnah klasik diawali akibat konflik internal umat Islam yang dikobarkan oleh sebagian kaum Zindik yang berkedok pada sekte-sekte Islam, kemudian diikuti oleh para pendukungnya dengan mencaci para sahabat dan melemparkan hadits palsu. Inkar sunnah klasik hanya terdapat di Bashrah Irak karena ketidaktahuannya tentang kedudukan sunnah dalam syari’ah Islam, tetapi setelah diberikan penjelasan akhirnya menerima kehujahannya.

            Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok ingkar as-sunnah. Menurut imam Syafi’i ada tiga kelompok ingkar as-sunnah seperti telah dijelaskan di atas. Antara lain:

1.      Khawarij

            Dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata kharijyang berarti sesuatu yang keluar. Sementara menurut pengertian terminologis khawarij adalah kelompok atau golongan yang pertama keluar dan tidak loyal terhadap pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan khawarij disini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a.

            Ada sumber yang mengatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum terjadinya fitnah yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Yaitu perang jamal (antara sahabat Ali r.a dengan Aisyah) dan perang Siffin ( antara sahabat Ali r.a dengan Mu’awiyah r.a). Dengan alasan bahwa seelum kejadian tersebut para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim yang sudah akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi SAW sudah keluar dari islam. Akibatnya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat setelah kejadian tersebut mereka tolak.

            Seluruh kitab-kitab tulisan orang-orang khawarij sudah punah seiring dengan punahnya mazhab khawarij ini, kecuali kelompok Ibadhiyah yang masih termasuk golongn khawarij. Dari sumber (kitab-kitab) yang ditulis oleh golongan ini ditemukan Hadits nabi saw yang diriwayatkan oleh atau berasal dari Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lainnya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seluruh golongan khawarij menolak Hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Nabi saw, baik sebelum maupun sesudah peristiwa tahkim adalah tidak benar.

2.      Syiah

            Kata syiah  berarti ‘para pengikut’ atau para pendukung. Sementara   menurut istilah ,syiah adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib lebih utama daripada  khalifah yang sebelumnya, dan berpendapat bahwa al-bhait     lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lain.

            Golongan syiah terdiri  dari berbagai kelompok  dantiap kelompok   menilai  kelompok yang lain sudah keluar dari islam. Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna ‘asyariyah. Kelompok ini menerima hadits nabawi sebagai salah satu syariat islam. Hanya  saja ada perbedaan nmendasar antara kelompok syiah ini dengan golongan ahl sunnah  (golongan  mayoritas umat islam),yaitu dalam hal penetapan  hadits.

            Golongan syiah menganggap bahwa sepeninggal Nabi SAW mayoritas para sahabat sudah murtad kecuali beberapa orang saja yang menurut menurut merekamasih tetap muslim. Karena itu, golongan syiah menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas  para sahabat tersebut. Syiah hanya menerima hadits-hadits yang  diriwayatkan oleh ahli baiat saja.                                                

3.      Mutazilah

            Arti kebahasaan dari kata mutazilah adala ‘sesuatu yang  mengasingkan diri’. Sementara yang dimaksud disini adalah golongan yang mengasingkan diri mayoritas umat islam karena berpendapat bahawa seorang muslim yang fasiq idak dapat disebut mukmin atau kafir.

            Imam Syafi’I menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menelaskan siapa arang yang menolak sunah itu. Sementara sumber-sumber yang menerankan sikap mutazilah erhadap sunnah masih terdapat kerancuan, apakah mutazilah  menerima sunnah keseluruhan, menolak keseluruhan, atau hanya menerima sebagian sunnah saja.

            Kelompok mutazilah menerima sunnah seperti halnya umat islam, tetapi mungkin ada beberapa hadits yang mereka kritik apabila hal tersebut berlawanan dengan pemikiran mazhab mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak hadits secara keseluruhan, melainkan hanya menerima hadits yang bertaraf mutawatir saja.

            Ada beberapa hal yang perlu dicatat tentang ingkar as-sunnah klasik yaitu, bahwa ingkar as-sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perseorangan dan ha itu muncul akibat ketidaktahuan  mereka tentang fungsi dan kedudukan hadist. Karena itu, setelah diberitahu tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya menerimanya kembali. Sementara lokasi ingkar as-sunnah klasik berada di Irak, Basrah.

b)     Inkar Sunnah Modern

            Inkar Sunnah modern muncul di Mesir pada abad 20 M. Penyebab utamanya adalah akibat pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di dunia Islam, terutama di India setelah terjadi pemberontakan melawan colonial Inggris 1857 M. Berbagai usaha-usaha yang dilakukan kolonial untuk pendangkalan ilmu agama dan umum, penyimpangan aqidah melalui pimpinan-pimpinan umat Islam dan tergiutnya mereka terhadap teori-teori Barat untuk memberikan interpretasi hakekat Islam.

            Tokoh-tokoh kelompok ingkar sunah modern akhir abad ke 19 dan 20 yang terkenal adalah Taufik Siddqi (wafat 1920 dari Mesir Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad khalifah kelahiran mesir yang menetap di Amerika serikat dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai sosialis rakyat Malaysia. Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah klasik, untuk lebih jelasnya daapat dijelaskan sebagai berikut:

1.      Taufik Sidqi dari Mesir. Beliau berpendapat bahwa tidak ada  satupun hadits nabi SAW yang dicatat pada zamannya. Pencatatan hadits nabi SAW dilakukan setelah nabi SAW wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadits nabi tersebut manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadits seperti yang terjadi.

2.      Ghulam Ahmad Parvez dari India. Ia adalah pengikut setia Taufik Sidqi, pendapatnya yang terkenal adalah mengenai tata cara sholat yang terserah pada pemimpin umat untuk menentukan secara musyawarah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.

3.      Rasyad Khalifah dari Amerika Serikat. Ia mengakui bahwa al-quran adalah satu-satunya sumber ajaran islam, namun ia menolak al-hadits bahkan menilainya sebagai buatan iblis yang di bisikan kepada Nabi Muhammad SAW.

4.      Kasim Ahmad dari Malaysia. Menurut pendapatnya asal mula hadits Nabi SAW yang di himpun dalam kitab-kitab hadist adalah dongeng-dongeng semata, karena hadits nabi tersebut ditulis seteleah nabi SAW wafat

5.      Ingkar Sunnah di Indonesia. Tokoh-Tokoh Ingkar sunnah yang tercatat di Indonesia antara lain: Lukman Sa’ad, Dadang Setio Groho, Safran Batu Bara dan Dalimi Lubis.

 

2.     Pokok-Pokok Ajaran Ingkar Sunnah

            Pada umumnya, setiap kelompok keagamaan memiliki pemikiran sebagai ajaran utamanya. Hal ini juga menjadi ciri lain yang mempertegas eksistensi kelompoknya. Demikian juga dengan kelompok Inkar Sunnah. Kelompok ini memiliki ajaran utama yang dijadikan landasan pelaksanaan keberagamaan mereka. Adapun ajaran-ajaran pokok dari Inkar Sunnah adalah sebagai berikut:

a.       Tidak percaya kepada semua hadis Rasulullah SAW. Menurut mereka itu karangan Yahudi untuk menghancurkan umat Islam.

b.       Dasar hukum Islam hanya Alquran saja.

c.       Syahadat mereka Isyhadû bi annâ muslimûn.

d.      Shalat mereka bermacm-macam, ada yang dua roka’at-dua roka’at dan ada yang hanya diingat saja.

e.       Puasa wajib hanya bagi orang yang melihat bulan saja, kalau seorang saja yang melihat bulan, maka dialah yang wajib berpuasa.

f.        Haji boleh dilakukan selama 4 bulan haram, yaitu: Muharram, Rajab, Zulqa’idah, dan Zulhijjah.

g.       Pakaian ihram adalah pakaian Arab dan merepotkan. Maka pada waktu haji boleh mengenakan celana panjang dan baju biasa serta memakai jas/dasi.

h.      Rosul tetap di utus sampai hari kiamat.

i.         Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang kandungan isi Alquran

j.         Orang yang meninggal dunia tidak dishalati karena tidak ada perintah dalam Alquran.

 

Seperti itulah ajaran pokok Inkar sunnah yang intinya menolak ajaran sunnah yang dibawa Rasulullah SAW dan hanya menerima Alquran secara terpotong-potong.

 

3.     Argumen-Argumen Para Pengingkar Sunnah

            Cukup banyak argumen yang dikemukakan oleh mereka yang berpaham inkar al-sunnah. Baik mereka yang hidup pada zaman al-Syafi’I maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Pengelompokkan tersebut berupa argumen naqli dan non-naqli. Berikut penjelasannya:

1.      Argumen Naqli

            Argumen Naqli tidak hanya berupa ayat Alquran saja, tetapi berupa sunnah dan hadis Nabi. Sungguh ironis bahwa mereka menggunakan sunnah sebagai argumen untuk membela paham mereka. Para pengingkar sunnah yang mengajukan argumen seperti itu adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berhak menjelaskan Alquran kepada umatnya.

2.      Argumen Non-naqli

            Pengertiannya adalah argumen-argumen yang tidak berupa ayat Alquran atau hadis-hadis. Argument-argumen yang diajukan yang terpenting adalah sebagai berikut:

a.       Alquran diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dalam bahasa Arab. Orang yang memiliki pengetahuan Bahasa Arab akan dengan mudah mampu memahami Alquran tanpa bantuan penjelasan hadis Nabi.

b.      Umat Islam mengalami kemunduran karena mengalami perpecahan. Perpecahan itu dikarenakan hadis Nabi. Jadi agar umat Islam maju maka umat Islam harus meninggalkan hadis Nabi.

c.       Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng semata. Dinyatakan seperti itu karena hadis muncul setelah Nabi wafat.

d.      Menurut dokter Taufik Sidqi, tiada satupun hadis yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatatan hadis Nabi terjadi stelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpetualang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi.

e.       Kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadis sangat lemah untuk menentukan kesahihan hadis.

 

4.     Sebeb-Sebab Munculnya Ingkar Sunnah

            Melihat dari beberapa permasalahan di atas yang berhubungan dengan adanya pengingkaran sunnah dikalangan umat Islam, dapatlah kiranya dilihat sebab adanya pengingkaran tersebut, diantaranya:

1)     Pemahaman yang tidak terlalu mendalam tentang Hadits Nabi saw. Dan kedangkalan mereka dalam memahami Islam, juga ajarannya secara keseluruhan, demikian menurut Imam Syafi’i.

2)     Kepemilikan pengetahuan yang kurang tentang bahasa arab, sejarah Islam, sejarah periwayatan, pembinaan hadits, metodologi penelitian hadits, dan sebagainya.

3)     Keraguan yang berhubungan dengan metodologi kodifikasi hadits, seperti keraguan akan adanya perawi yang melakukan kesalahan atau muncul dari kalangan mereka para pemalsu dan pembohong.

4)     Keyakinan dan kepercayaan mereka yang mendalam kepada al-Qur’an sebagai kitab yang memuat segala perkara.

5)     Keinginan untuk memahami Islam secara langsung dari al-Qur’an berdasarkan kemampuan rasio semata dan merasa enggan melibatkan diri pada pengkajian hadits, metodologi penelitian hadits yang memiliki karakteristik tersendiri. Sikap yang demikian ini, disebabkan oleh keinginan untuk berfikir bebas tanpa terikat oleh norma-norma tertentu, khususnya yang berkaitan dengan hadits Nabi SAW.

6)     Adanya statement al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam (QS. Al-Nahl: 89), juga terdapatnya tenggang waktu yang relatif lama antara masa kodifikasi hadits dengan masa hidupnya Nabi SAW (wafatnya beliau).

BAB III

 

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Pada kenyataannya tidak semua orang mampu menerima hadits sebagai dasar syaria’at Islam, bahkan ada sebagian kecil yang menolak hadits sebagai dasar tasyri’. Hal ini bukan hanya datang dari ektern umat Islam tetapi dari intern umat Islam sendiri. Pada abad ke II Hijriyah muncul faham yang menyimpang dari garis khithab yang telah dilalui oleh para shahabat dan tabi’in, yakni ada yang tidak mau menerima hadits sebagai hujjah dalam menetapkan hukum atau bila tidak dibantu oleh Al-Quran dan ada sebagian golongan yang tidak menerima hadits Ahad.

Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.

Problematika tersebut telah dibahas secara seksama oleh para ulama dari berbagai keahlian; tafsir, hadits, ilmu kalam, fiqh dan tasawuf, terutama menggunakan dalil yang jelas dari Al-Quran dan Hadits, logika yang kuat dan fakta-fakta historis sejak zaman Nabi SAW.

 

B.     Saran

Demikianlah pembahasan tentang Problematika Hadits yang bisa kami bahas dalam makalah ini, tentunya juga dalam pembuatan makalah ini tidak akan terlepas dari kesalahan dan kekuarangan yang kami buat baik yang sengaja atau tidak sengaja. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada pembaca sekalian untuk memberikan kritik dan sarannya agar makalah ini bias sempurna

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Lajnah, Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. 2001. Bogor: Lesat Al-Hidayah

 

Rahman, Fatchur.  Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. 1970. Bandung: PT. AL Ma’arif

 

Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. 2010. Bogor: Ghalia Indonesia

 

Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. 2002. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

 

Ash-Shiddieqi, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. 2009.Jakarta: Bulan Bintang

 

 Thahan, Mahmud. Ilmu Hadis Praktis. 2012. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah

 

 



[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 176

[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. (Bandung: PT. AL Ma’arif, 1970), h. 168-169.

[3] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 163

[4] Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits(Bogor: Lesat Al-Hidayah, 2001), h.142.

[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang, 2009). h. 191

[6]  Mahmud Thahan. Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2012) h. 112

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menghilangkan Tahi Lalat dengan bahan Alami

Tugas Kuliah Analisa Kasus