Analisis Kebijakan Hukum Disektor Pelayanan Publik Dalam Era Otonomi Daera
Analisis Kebijakan Hukum Disektor
Pelayanan Publik Dalam Era Otonomi Daerah
Gagasan Omnibus Law Apa itu Omnibus Law? Dalam
perspektif Guru Besar FHUI, Maria Farida Indrati, omnibus (latin) bermakna
untuk semua atau untuk segalanya. Tentunya, istilah omnibus law bermakna hukum
untuk semua atau segalanya. Bagi Maria, dari beragam rumusan pengertian
omnibus, ia memilih pengertian “satu UU (baru) yang mengandung atau mengatur
berbagai macam substansi dan berbagai macam subyek untuk langkah penyederhanaan
dari beberapa UU yang masih berlaku”. (Maria Farida, Opini,Kompas 4/01/2020:
6). Omnibus Law itu sendiri hal lazim di negara-negara common law dan kurang
dikenal di negara bersistem civil law seperti Indonesia. Pada Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, tidak ada norma
eksplisit yang dapat ditafsirkan dan ditemukenali sebagai model omnibus law.
Awal gagasan omnibus law sebenarnya dari kekecewaan Presiden Joko Widodo
(Jokowi). Indonesia minim dihampiri investasi. Padahal investasi pelumas
ekonomi. Apalagi di era ekonomi digital. Prediksi Jokowi, hukum diduga membuat
investasi tidak menarik. Regulasi bertumpuk. Birokrasi berbelit. Waktu mengurus
perizinan mengular. Obesitas regulasi menimbulkan dampak serius. Implikasinya
serius. Pertama, lemahnya daya saing investasi (Ease of Doing Business/EoDB)
dan pertumbuhan sektor swasta.
Dalam laporan di tahun 2019 ini, posisi
Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun
indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96. Dari 10 indikator yang
dinilai oleh Bank Dunia dalam periode Juni 2017 hingga Mei 2018, Indonesia
mencatatkan penurunan di empat bidang, yaitu dealing with construction permit,
protecting minority investors, trading across borders, enforcing contracts.
Kedua, terbukanya peluang korupsi. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
korupsi perizinan masih menjadi lahan empuk korupsi pejabat daerah. Dari 105
kepala daerah yang kasusnya tengah ditangani KPK, 60 orang di antaranya
terlilit kasus suap, sementara sisanya terkait kasus yang merugikan keuangan
negara, gratifikasi, hingga pemerasan. Masalah perizinan dianggap kerap menjadi
batu sandungan para kepala daerah. Dari dua hal di atas, nampaknya Presiden
Jokowi percaya, hanya RUU Omnibus Law yang bisa memangkas persoalan obesitas
regulasi dan perizinan. Keyakinan Presiden dapat mudah dipahami penulis. Sebab,
pasca-reformasi, setiap lembaga baik pusat maupun daerah dapat memproduksi
dengan mudah regulasi. Selain itu, dengan model pilkada langsung yang berbiaya
tinggi, obral perizinan bukan lagi rahasia umum. Terjadi politik transaksional
di daerah oleh oknum kepala daerah sebagaimana diafirmasi KPK di atas. Maka,
pilihan pragmatis dan rasional dari Presiden Jokowi dalam konteks ini adalah
menderegulasi perizinan dan peraturan melalui model RUU Omnibus Law. Kompleksitas
Omnibus Law Persoalannya, gagasan Omnibus Law seperti bola liar karena tidak
ditetapkan dulu konsep batas-batasnya. Misalnya, apakah kita masih komitmen
dengan demokrasi dan otonomi daerah yang diperjuangkan berdarah-darah oleh
pahlawan reformasi. Sebab tanpa itu, maka potensi Omnibus Law merusak demokrasi
dan otonomi daerah selalu terbuka. Dari draf RUU Omnibus Law, khususnya pada
pasal-pasalnya, indikasi dimaksud menjadi begitu terbuka. Seperti Pasal 62 RUU
Cipta Kerja yang mengatur perubahan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal itu menyatakan, perizinan berusaha untuk pendirian semua fasilitas
layanan kesehatan merupakan wewenang pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak
lagi memiliki. Jadi, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sekalipun, pusat
yang memberikan izinnya. Maka, apakah ini berpeluang mencederai konsep otonomi
daerah? Selain itu model perizinan yang diubah menjadi model perizinan
berdasarkan kriteria kegiatan berusaha dengan risiko rendah (yang cukup
pemberian Nomor Induk), menengah (selain Nomor Induk Berusaha juga dilengkapi
Sertifikat Standar), dan tinggi (menggunakan Izin selain Nomor Induk Berusaha)
(Pasal 9-11).
Dalam konteks ini, yang perlu dipastikan adalah
kecermatan menentukan risiko. Sebab, ini terkait jaminan lingkungan hidup dan
keberlanjutan masa depan. Jika demi investasi, dimensi ekologi dikesampingkan,
bukan mustahil bangsa ini akan punah. Belum lagi soal kontroversi Peraturan
Pemerintah (PP) yang bisa menggeser Undang-Undang (UU) (Pasal 170) yang
mengundang polemik antar Menteri baik Menko Perekonomian maupun Menko Polhukam
dan Menhukam. Polemik antar-menteri harusnya tabu dalam kebijakan yang sudah
disampaikan ke publik. Apalagi dari segi hukum sudah terang benderang,
Indonesia menganut hierarki hukum sebagaimana dianut UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga sesuatu yang harusnya
mustahil: PP mengalahkan UU. Bola di tangan DPR Kini publik berharap cemas.
Bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyikapi karut marut RUU Omnibus Law.
Publik menghendaki, DPR sebagai wakil rakyat yang otentik, (bukan
kaleng-kaleng), harus dapat meningkatkan optimalisasi partisipasi publik.
Sebab, dengan partisipasi publik, derajat legitimasi undang-undang dapat
dijamin. Ada buku lama dari Arief Budiman berjudul Teori Negara (Gramedia,
1996) yang dapat menjadi sinyal untuk mengukur apakah demokrasi redup atau
tidak. Menurut Arief, perlu dikritisi doktrin netralitas negara. Sebab, menurut
teori dari Ralph Milliband, jika tidak hati-hati, negara menjadi sekadar alat
melayani kelas dominan, bukan kepentingan publik. Kelas dominan bekerja
mempengaruhi melalui hubungan pribadi antara kelas dominan dengan pejabat
negara (hlm.70). Ini pasti harus dihindari. Dalam konteks demikian, maka layak
diperdebatkan soal tudingan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang
menyatakan RUU Omnibus Cipta Kerja tidak melibatkan buruh. Pada DPR
digantungkan amanah besar untuk memastikan prinsip negara hukum, demokrasi dan
otonomi daerah tidak dicabut nyawanya. Sebab, ini perjuangan luar biasa. Publik
harus mengawal agar DPR bisa istiqamah menjalani takdir untuk “pasang badan”
pada pemilihnya.
(https://nasional.kompas.com/read/2020/03/02/09461161/omnibus-law-demokrasi-dan-otonomi-daerah?page=all)
Komentar