“HUKUM KELUARGA ISLAM DI REPUBLIK TURKI”

 

MAKALAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA MUSLIM

TENTANG

“HUKUM KELUARGA ISLAM DI REPUBLIK TURKI”

 



 

Oleh :

 

ILVA GUFRI

Nim : 2020040018

 

 

Dosen Pembimbing :

Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH

 

 

JURUSAN HUKUM KELUARGA (B) PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

1442 H/2020 M





KATA PENGANTAR

 

Puji dan syukur hanyalah untuk Allah SWT, Sang Maha Pengasih, Maha Penyayang, yang telah memberikan anugerah ilmu pegetahuan yang tidak terhingga, nikmat yang tidak pernah berujung. Shalawat dan salam kepada Baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa umat Islam dari alam kebodohan menuju jalan berilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Hukum Keluarga Islam di Republik Turki”.

Penulismengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas makalah ini. Terutama ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing Mata Kuliah Peradilan Agama di Negara Muslim ini, yang telah memberikan arahan, dorongan, serta motivasi sehingga terciptalah makalah ini. Ucapan terima kasih pula kami ucapkan  kepada segenap pihak yang telah terlibat dalam penyusunan makalah ini. Semoga apa-apa yang telah diberikannya akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Penulis menyadari tentunya dalam makalah ini masih  terdapat kekurangan.Kekurangan dalam makalah ini merupakan sebuah literatur yang membuka ktitikan-kritikan serta saran yang membangun bagi  penulis, agar dapat lebih baik untuk kedepannya dan lebih giat dalam berliterasi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Ya Rabbal ‘alamiin.

                                               

Padang, 06 Oktober 2020

 

 

 

         Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB  I    PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah...........................................................................................       1

B.      Rumusan Masalah........................................................................................................       1

C.      Tujuan Penulisan.......................................................................................................... 1

BAB II   PEMBAHASAN

A.      Letak geografis dan keadaan penduduk Negara turki…………………      3

B.      Perkembangan Hukum Islam Di Negara Turki…………………………...       4

C.      Materi Hukum Keluarga Turki……………………………………………….....       7

D.     Metode Pembaharuan Hukum Keluarga Turki…………………………..      14

 

BAB III  PENUTUP

A.    Kesimpulan.............................................................................................................................. 17

B.     Saran........................................................................................................................................... 17

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar belakang

Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan sistematis dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat itu merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh otorita hukum setempat di masing-masing daerah. Kumpulan hukum (fiqh) yang mengatur hal-hal pokok dilaksanakan secara seragam. Namun berkaitan dengan hal-hal yang detail banyak terjadi perbedaan karena praktek-praktek setempat dan variasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.

Pembaruan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum keluarga dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya the ottoman law of family rights (Undang-undang tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki.Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain.

Untuk itu pemakalah akan menyajikan perkembangan serta pembaharuan hukum keluarga Islam terutama mengenai hukum perkawinan Islam di Turki.

 

B.      Rumusan masalah

1.      Bagaimana Letak geografis dan keadaan penduduk Negara turki ?

2.      Bagaimana Perkembangan Hukum Islam di Negara Turki?

3.      Bagaimana Materi Hukum Keluarga Turki ?

4.      Bagaimana Metode pembaharuan hukum keluarga turki ?

 

C.      Tujuan penulisan

1.      Mampu menjelaskanLetak geografis dan keadaan penduduk Negara turki

2.      Mampu menjelaskanPerkembangan hukum islam di Negara turki

3.      Mampu menjelaskanMateri Hukum Keluarga Turki

4.      Mampu menjelaskanpembaharuan hukum keluarga turki

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN


A.     Letak Geografis dan Keadaan Penduduk Negara Turki

Turki Negara eropa tenggara dan asia kecil, berbatasan dengan Georgia, Armenia, Azerbaijan, dan Iran di timur, Irak, Suriah dan laut  tengah di selatan. Laut hitam di utara, laut Aegea di barat, dan Yunani serta di barat laut. Luas: 779.452 km2, diantaranya 755.688 km2 di asia kecil (Semenanjung Anatolia) dan 23. 764 km2 di eropa tenggara. Penduduk: 56.941.000 (1990), sebagian besar diantaranya termasuketnis  Turki. Agama: Islam (98%). Ibu kota: Ankara. Persinggungan islam dengan Turki melalui sejarah panjang. Terhitung sejak abad pertama hijriah hingga suku-suku islam.[1]

Dalam proses politik, ketika politik multi partai diperkenalkan di Turki pada tahun 1946, dakwaan bahwa umat islam tidak dapat beribadah dengan bebas muncul secara menonjol diantara tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepada partai rakayat republik yang telah berkuasa selama 27 tahun. Dakwaan ini datang dari sejumlah partai politik yang baru saja terbentuk dengan suatu ideology islam yang smar-samar sebagai dasarnya.

Partai-partai tersebut antara lain:

1.      Partai Pembangunan Nasional (Party of  National Development)

2.      Partai Keadilan Sosial (Party of Social Justice)

3.      Partai Tani (the cultivator peasent party)

4.      Partai Pembela Kemurnian (party of purification protection)

5.      Partai Konservatif Turki (Turkish conservative Party)

Akan tetapi setelah pemilu tahun 1950 (pemilu bebas pertama Turki) semua partai itu harus bubar cepat atau lambat karena tidak memiliki dukungan pemilih.[2]

Dalam periode 1960-1978, angka rata-rata kenaikan GNP perkapita Turki mencapai 3,6 persen/tahun. Ini merupakan sukses besar. Sementara itu pertambahan penduduk Turki sangat mencolok. Kalau  tahun1940 penduduknya berjumlah 17 juta, maka kini mencapai 56.941.000 jiwa. Turki merupakan satu-satunya negara Timur Tengah yang memiliki dua kota besar yang berkembang dengan rata-rata diatas 5 persen/tahun.Meskipun Turki termasuk negara sekular, pertumbuhan keagamaannya sangat mencolok. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penduduk yang menjadi anggota sekte-sekte keagamaan. Pembangunan keagamaan itu sendiri dilakukan oleh pemerintah.

B.     Perkembangan Hukum Islam di Negara Turki

Ketika Imperium kerajaan utsmani masih berkuasa, imperium memberlakukan sistem yudisial dan legal yang digabungkan dengan syariah khususnya yurisprudensi mazhab Hanafi dimana pengadilan diarahkan untuk menerapkan keputusan berbagai kasus. Sistem ini ditopang oleh lembaga keagamaan yang nyaris independen dari  kekuasaan sultan (kepala pemerintahan).[3]

Sultan tidak boleh sewenang-wenang memberlakukan hukum syariah tanpa legitimasi berupa fatwa dari lembaga mufti. Di pihak lain, mufti memiliki kewenangan untuk memilih para hakim yang mengatur pemberlakuan syariah di seluruh wilayah kerajaan. Namun pada masa abad 19, bersamaan dengan lengsernya kekuasaan ustmani, semua lembaga-lembaga keagamaan ini tidak lagi diberlakukan.Untuk sistematisasi serta kodifikasi sistem hukum, pada tahun 1839 dikeluarkan dekrit Imperium Hatt-I Syarif sebagai pondasi bagi rezim legislative modern.[4]

Revolusi politik yang telah memporak-porandakan wilayah imperium utsmani dan melengserkan jabatan khalifah ikut memberi dampak terhadap penggantian UU sipil tahun 1876 dan hukum keluarga yang baru ditetapkan pada tahun 1915 dan 1917 serta hukum waris dalam mazhab Hanafi yang belum sempat terkodifikasi dengan UU sipil pada tahun 1926.Sebelumnya untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan status perseorangan, hubungan keluarga dan waris, telah diatur oleh pemerintah utsmani secara formal dengan mengadopsi hukum dari mazhab Hanafi, tetapi hanya berlangsung sampai tahun 1915, perubahan terjadi karena tuntutan perubahan kondisi sosial yang terjadi, sekalipun upaya perealisasiannya dilakukan secara bertahap.

Turki mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di asia barat. Hukum perdata Turki pada awalnya didasarkan pada mazhab Hanafi, namun kemudian juga menampung mazhab-mazhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkam al adhiyayang telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang hukum keluarga.

Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis tahun 1915. Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami.Seorang isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya. Pada tahun yang sama dikeluarkan dua ketetapan umum. Pertama, dalam rangka menolong para isteri yang ditinggalkan suaminya secara resmi didasarkan pada mazhab Hambali (juga ajaran mazhab Maliki sebagai alasan pendukung). Kedua, dalam rangka memenuhi tuntutan perceraian dari pihak isteri dengan alasan suaminya mengidap penyakit tertentu yang membahayakan kelangsungan rumah tangga.[5]

Hukum tentang hak-hak keluarga (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun al-huquq al Aila) yang dirintis sejak tahun 1915 kemudian diundangkan pada tahun 1917 adalah hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Turki Usmani mengatur tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk waris, wasiat dan hibah). Undang-undang ini bersumber pada berbagai mazhab sunni. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 dalam bagian tertentu berlaku bagi golongan minoritas Yahudi dan Nasrani, karena undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menyatukan yurisdiksi hukum pada pengadilan-pengadilan nasional. Undang-undang yang terdiri dari 156 pasal ini hanya berlaku singkat selama dua tahun, namun munculnya undang-undang ini memberikan inspirasi bagi negara lain untuk mengadopsinya dengan beberapa modifikasi.

Beberapa tahun setelah pencabutan Hukum tantang hak-hak keluarga tahun 1917 situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha menempatkan Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917, Majallah al-ahkam al adhiya tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional, seperti pengambilan materi dari mazhab yang berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar – menjadikan komite hukum kacau dan dibubarkan.

Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The civil code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish civil code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912.[6]

 

C.      Materi Hukum Keluarga Turki

1.     Pertunangan

Hukum keluarga Turki mendorong pengadilan untuk tidak mengadakan perjanjian khusus pernikahan.Jika pesta pertunangan sudah dilakukan, ternyata perjanjian pernikahan batal, pihak yang dianggap bertanggung jawab dengan pembatalan dibebani kewajiban membayar ganti rugi berupa ganti biaya pesta yang telah dikeluarkan. Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa khitbah bertujuan menjajaki kedua belah pihak sehingga dimungkinkan muncul perasaan cinta dan suka sama suka. Jika ada hadiah yang diberikan dalam pesta pertunangan yang gagal tersebut, hadiah yang dimaksud harus dikembalikan nilainya dalam batas waktu satu tahun.[7]

2.     Umur Pernikahan

Dalam undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak nikah adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.Dalam kasus-kasus tertentu pengadilan dapat mengizinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan14 tahun bagi perempuan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali.[8]

Para Imam mazhab menetapkan bahwa batas usia seseorang dalam melakukan tindakan hukum adalah baligh dan berakal. Masing-masing mazhab mempunyai batasan umur yang berbeda mengenai kriteria baligh. Bagi syafi’i dan hambali menentukan umur 15 tahun bagi keduanya, sementara Maliki menetapkan usia 17 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut Hanafi, 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.Batasan ini merupakan batas maksimal, sedang batas minimal laki-laki 12 tahun dan perempuan 9 tahun, dengan alasan pada umur tersebut laki-laki sudah mimpi dan perempuan sudah haid sehingga memungkinkan terjadinya kehamilan.[9]

Di Turki perkawinan pada usia lebih rendah dari usia minimum yang mendapat izin dari pengadilan merupakan kasus pengecualian dan secara umum dilakukan dengan izin wali nikah.

 

3.     Poligami

Undang-undang Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawianan pertama masih berlangsung.UU itu menyatakan bahwa seorang tidak menikah, jika dia tidak membuktikan bahwa pernikahan yang pertama bubar karena kematian, perceraian atau pembatalan.Pernikahanyang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat menikah.

Dalam Ottoman Law of Family Rights (Qanun Qarar Al-huquq Al-a’ilah al-Utsmaniyah) tahun 1917 pasal 38 menetapkan dibolehkannya taklik talak bagi  isteri bahwa suaminya tidak boleh menikah lagi dengan wanita lain (poligami). Tahun 1915, sultan dalam ketetapannya menyatakan bahwa isteri dapat minta cerai kalau suami meninggalkan istrinya. Ketetapan lain dikeluarkan pada tahun yang sama, seorang isteri dapat minta cerai dengan alasan suami kena penyakit yang menyebabkantidak mungkin hidup bersama  sebagai suami isteri.[10]

 

4.     Syarat-syarat Pernikahan

Para ulama menetapkan 10 persyaratan bagi keabsahan suatu pernikahan, dan persyaratan tersebut telah disepakati :

a.        Calon mempelai wanita tidak mahram (yang haram dinikahi) bagi calon mempelai laki-laki, baik dalam waktu tertentu maupun selamanya.

b.       Shigat ijab Kabul tidak temporal.

c.       Ada dua orang yang adil

d.      Pernikahan dilakukan dengan sukarela oleh kedua belah pihak atau tidak dengan paksaan.

e.        Kedua calon mempelai jelas jati dirinya

f.         Tidak sedang melakukan ihram haji atau umroh

g.        Mempelai laki-laki dan para saksi tidak merahasiakan pernikahan

h.      Pernikahan dengan memberi mas kawin (mahar)

i.         Salah satu dari kedua calon mempelai tidak sedang sakit membahayakan

j.          Ada wali yang menikahkan

 

5.     Pembatalan Pernikahan

Suatu pernikahan harus dibatalkan di bawah UUsipil Turki pasal 112 dalam kondisi berikut :

a.       Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah

b.       Salah satu pihak pada saat menikah menderita sakit jiwa atau penyakit permanen lain

c.        Pernikahan termasuk yang dilarang

Menurut mazhab Hanafi, pernikahan dianggap batal apabila ada rukun dan syarat pernikahan yang tidak dipenuhi.Bila hal itu terjadi, dan pasangan telah melakukan hubungan suami isteri, hakim harus memisahkan secara paksa dan tidak berlaku iddah bagi wanitanya.[11]

 

6.     Perceraian dan Pemisahan

Menurut UU sipil Turki ada 6 hal yang membplehkan suami isteri menuntut pengadilan mengeluarkan dekrit perceraian, dengan catatan meskipun dekrit perceraian telah diterbitkan, pengadilan boleh memberikan pemilahan yudisial jika rekonlisiasi diantara pasangan memungkinkan. Jika pemilahan diberikan dan tidak ada rekonsiliasi yang terjadi diantara keduanya sampai akhir periode yang diberikan, salah satu pihak boleh meminta cerai. Keenam hal tersebut adalah :

a.       Salah satu pihak telah memutuskan perceraian.

b.       Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain.

c.        Salah satu pihak telah melakukan tindak kriminal yang membuat hubungan perkawianan tidak bisa ditolelir untuk dilanjutkan.

d.      Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau tanpa ada sebab yang jelas selama sekurang-kurangnya 3 bulan

e.       Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam periode sekurang-kurangnya 3 tahun

f.         Hubungan suami dan isteri sedemikian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir.

Menurut hukum perdata Turki tahun 1926, seorang suami atau isteri yang hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang.Jika setelah pisah ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah tangga, maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di pengadilan.Ketentuan tentang perceraian diatur pada Pasal 129 – 138 Hukum Perdata Turki tahun 1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat mengajukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan sebagai berikut :

a.       Salah satu pihak berbuat zina.

b.      Salah satu pihak melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak lainnya.

c.       Salah satu pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan penderitaan yang berat dalam kehidupan rumah tangga.

d.      Salah satu pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain.

e.       Salah satu pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli medis (dokter).

f.        Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan penderitaan.

Seiring dengan perkembangan zaman Hukum Perdata Turki tahun 1926 mengalami dua kali proses amandemen. Amandemen tahap pertama terjadi pada kurun waktu 1933 – 1956.hasil amandemen ini antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta dan keadaan kuat.

Proses amandemen kedua terhadap Hukum Perdata Turki tahun 1926 berlangsung pada tahun 1988-1992. Amandemen tahun 1988 memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama (divorce by mutual consents), nafkah istri dan penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan, pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen yang dilakukan oleh legislative tersebut berakhir tahun 1992.Materi amandemen tahun 1990 yang berkaitan dengan perceraian, antara lain :

a.         Salah satu pihak dapat mengajukan cerai atas dasar perwujudan dari ketidakcocokan tabiat yang berakibat pada rumah tangga yang tidak bahagia.

b.         Pihak yang tidak bersalah dan menderita berhak mengajukan cerai dan meminta ganti rugi yang layak dari pihak lain.

c.          Pihak yang tidak bersalah dan menjadi miskin berhak mengajukan cerai dan meminta nafkah dari pihak lain selama setahun. [12]

 

7.     Hukum Waris

Buku ketiga UU sipil berkaitan dengan kewarisan.Buku ini mengenalkansemua skema warisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari UU Swizerland.Hukum Hanafi tentang kewarisan sebelumnya telah diikuti oleh Turki sampai pada tahun 1926 dan kemudian diganti dengan skema baru.Salah satu bagian terpenting yang ditawarkan adalah prinsip kesetaraan antara laki-laki perempuan yang berkaitan dengan kewarisan.

Dalam UU kewarisan ini, prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan warisan, berbeda dengan apa yang ada dalam hukum Islam, dimana laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama. Sedang dalam Alquran, laki-laki mendapat bagian dua kali dari yang diterima perempuan.[13]

Al-qur’an menunjukkan tingkat kedekatan proposisi bahwa kesamaan laki-laki harus terjadi dalam pembagian dua kali perempuan.UU sipil Turki menetapkan bahwa anak-anak yang ditinggal mati oleh ayah harus mendapatkan warisan sama dengan ibunya.

 

D.     Metode Pembaharuan Hukum Keluarga Turki

Pembaruan hukum Islam di Turki dapat berjalan lancar, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hukum keluarga diikuti oleh penduduk Turki.Walaupun terdapat perbedaan antara modernis dan tradisonalis, namun tidak sampai pada taraf antipati.Hal ini diantaranya disebabkan oleh watak organisasi ulama di Turki yang tidak mempunyai institusi keagamaan yang kuat seperti di Mesir (al-Azhar).Hal ini sebagai akibat dari sekularisasi yang diterapkan di Turki.Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perceraian dalam perundang-undangan Turki telah mengalami perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan fiqh konvensional. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari uraian berikut :

1. Otoritas pengajuan cerai yang sebelumnya mutlak berada di pihak suami, sedangkan istri tidak mempunyai hak sedikitpun untuk dan dengan alasan apapun, sejak munculnya hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 pihak istri diperbolehkan mengajukan perceraian.

2. Perceraian dilakukan di pengadilan yang didahului dengan permohonan cerai dari pihak suami atau isteri (Hasil Amandemen Pasal 129-135).

3.  Dalam masalah perceraian menurut fiqh konvensional tidak dikenal istilah pisah ranjang (juditial separation). Hukum perdata Turki tahun 1926 mengatur dan membolehkan pisah ranjang.

4. Pihak suami isteri mempunyai hak yang seimbang dalam pengajuan cerai dengan mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan (Pasal 129-138 Hukum Perdata Turki 1926 dan Pasal 134-144 Hasil Amandemen Tahun 1990).

5. Suami atau isteri yang nusyuz (dalam hal ini zina yang dijadikan alasan perceraian) maka perlakuan terhadap suami yang zina sama dengan isteri yang zina.

6. Penyakit jiwa dalam perundang-undangan Turki termasuk dalam alasan perceraian, sedang dalam fiqh konvensional berkaitan dengan fasakh.

7. Perundang-undangan Turki memberlakukan perceraian atas kesepakataan bersama (suami isteri) berdasar hasil Amandemen tahun 1988.

8. Masing-masing pihak yang merasa dirugikan pihak lain sebagai akibat perceraian diperbolehkan mengajukan tuntutan ganti rugi yang layak (Pasal 143 Hasil Amandemen tahun 1990).

Metode pembaruan hukum Islam yang digunakan di Turki pada tahap awal menggunakan metode takhayyur.Hal ini dapat dilihat pada kodifikasi hukum majallat al-ahkam al-adhiya tahun 1876dengan memilih salah satu dari sekian pendapat mazhab fiqh yang ada.[14]

Aplikasi metode takhayyur dalam perundang-undangan Turki menurut Andersonseperti pada aturan ta’lik talak yang dicantumkan pada Pasal 38 Hukum tentang Hak-hak keluarga tahun 1917 bahwa seorang isteri berhak mencantumkan dalam ta’lik talak bahwa poligami suami dapat menjadi alasan perceraian. Metode pembaruan hukum keluarga yang dominan terutama berkaitan dengan perceraian adalah maslahah mursalah. Hal ini nampak dari ketentuan yang mewajibkan perceraian di Pengadilan, kemaslahatan yang diperoleh adalah sikap kehati-hatian dan kepastian hukum. Keseimbangan hak antara suami isteri dalam pengajuan cerai dengan alsan-alasan yang mendasarinya juga dimaksudkan untuk menghindari kesewenang-wenangan salah satu pihak (suami) yang mengakibatkan kerugian dipihak lain dan mengembalikan posisi isteri yang sering termarjinalkan oleh konstruksi pemahaman hukum Islam.[15] 

 

 

 

  

BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali perubahan.Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun al-huquq al Aila) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish civil code, 1926), kemudian diamandemen dua kali, tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992.Materi pembaruan hukum keluarga dalam masalah perceraian seputar persamaan hak dalam pengajuan perceraian antara suami istri dan alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian.Metode pembaruan yang diterapkan dalam masalah perceraian adalah lebih mengedepankan maslahah mursalah.Walaupun begitu extra dan intra doctriner reform cukup mewarnai dinamika pembaruan hukum keluarga di Turki.

B.      Saran

Penyusun makalah ini hanyalah manusia biasa yang dangkal ilmunya.Banyak memiliki keterbatasan dan kekurangan, oleh sebab itu untuk pengoreksian makalah ini diharapkan kritik dan saran yang membangun agar kedepannya dapat diperbaiki.Semoga bermanfaat untuk semuanya terkhusus bagi penyusun sendiri.Wallahua’lam bissowabb.

 

  











DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J.N.D., Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein          (Surabaya:Amar Press, 1990).

Hoeve, Van, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru), 1994.

Khairuddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS), 2002.

Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Moslem World       (Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972).

Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries History, Text,       Comperative Analysis, (New Delhi : Academy of law and religion),         1987.

Mahmood, Tahir, Status of Personal Law in Islamic Countries:History, Texts and Analysis, Revised Edition (New Delhi:ALR), 1995.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, cet. 4, Alih bahasa: Afif      Muhammad, Jakarta : Lentera Basritama, 1999.

Muhammad Amin, al-shahir bi ibn ibidin, hasyiyah Radd Al-mukhtar,(Beirut :             Dar al-fikr).

Muzhdar, Atho  & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam        Modern, (Jakarta:Ciputat Press), 2003

Pearl, David and Werner Menski, Muslim Family Law, third edition      (London:Sweet and Maxwell), 1998.

Zuhaili, Al-Wahbah ,Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Vol. VII, Beirut: Dar           alFikr,1989.



[1]Van Hoeve, Ensiklopedi islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru), 1994, hlm.116)

[2] Ibid. Hlm.116

[3]Atho muzdhar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta:Ciputat Press), 2003, h.37

[4]Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries History, Text, Comperative Analysis, (New Delhi : Academy of law and religion), 1987,hl.263

[5]J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein (Surabaya:Amar Press, 1990), hlm. 57-58

[6]Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World (Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT. LTD, 1972), hlm. 17-18

[7]Naskah Hukum Keluarga Turki ,1952 pasal II ayat I.

[8]Muhammad Amin, al-shahir bi ibn ibidin, hasyiyah Radd Al-mukhtar,(Beirut : Dar al-fikr), h.599

[9]Muhammad Mughniyah Jawad, Fiqh Lima Mazhab, cet. 4, Alih bahasa: Afif Muhammad, Jakarta : Lentera Basritama, 1999.

 

[10]Khairuddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS),2002, h.245

[11]Al-Wahbah ,Zuhaili, , Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Vol. VII, Beirut: Dar alFikr,1989.Hlm. 112.

[12]Tahir Mahmood, Status of Personal Law in Islamic Countries:History, Texts and Analysis, Revised Edition (New Delhi:ALR, 1995), hlm. 84

[13]Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Moslem World      (Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972) hlm. 24

 

[14]David Pearl and Werner Menski, Muslim Family Law, third edition (London:Sweet and Maxwell, 1998), h. 21.

[15]Khairuddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS),2002, Hlm. 279

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menghilangkan Tahi Lalat dengan bahan Alami

Tugas Kuliah Analisa Kasus