PROBLEMATIKA ANAK ANGKAT DAN STATUS MAHRAM DALAM KELUARGA

 

PROBLEMATIKA ANAK ANGKAT DAN STATUS MAHRAM DALAM KELUARGA

 

Niken Amanda

(Mahasiswi Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang)

 


 

Abstrak: Tulisan ini berupaya menguraikan seputar problematika anak angkat dan status mahramnya dalam keluarga dan penjelasan lain terkait anak angkat. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak tidak menghapus nasab anak tersebut terhadap orang tua kandungnya, sehingga anak angkat tidak menjadi ahli waris orang tua angkatnya, kecuali melalui jalur wasiat dan tidak lebih dari 1/3 bagian. Anak angkat juga bukan mahram orangtua angkatnya, sehingga ia harus menutup aurat di depan anak angkat tersebut, sebagaimana ia juga bersikap terhadap orang lain yang juga bukan mahramnya.

 

Kata kunci: Anak angkat, Status Mahram, Hukum Islam

 

A.      PENDAHULUAN

            Makhluk hidup diciptakan secara berpasang-pasangan, begitupun laki-laki dan perempuan. Untuk melanjutkan keturunan seorang laki-laki dan perempuan disatukan dalam sebuah ikatan perkawinan, dan dari hasil perkawinan inilah Allah akan mengaruniakan mereka keturunan yang amat mereka cinta. Namun, dalam realitanya banyak pula kita temui sepasang suami istri yang telah menikah bertahun-tahun namun belum juga dikaruniai momongan atau anak. Banyak kita temui akhirnya pasangan ini mengambil alternatif untuk mengadopsi anak baik anak ornag lain, maupun anak dari kerabat mereka sendiri.

            Kegiatan mengadopsi anak/mengangkat anak orang lain sebagai anak dalam bahasa Arab disebut istilah “Tabanni”, sementara konsep pengagkatan anak dalam staatsblad 1917-129 dikenal dengan istilah adopsi, yang berasal dari kata adoptie dalam bahasa Belanda, atau adoption dalam bahasa Inggris, yang dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa adopsi adalah “Pengambilan (Pengangkatan) anak orang lain secara sah dan menjadi anak sendiri

 

Keinginan intuk mepunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir Illahi,dimana kehendak memiliki anak tidak tercapai. Pada umumnya manusia tidak puas dengan apa yang dimilikinya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut. Dalam hal pemilikan anak, usaha yang pernah mereka lakukan adalah mengangkat anak atau adopsi. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problematika bagi masyarakat, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukumnya. Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas terlihat, kalau kita mempelajari ketentuan tentang eksistensi lembaga adopsi itu sendiri dalam sumber-sumber yang berlaku di Indonesia, baik hukum Barat yang bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Burgeelijk Wetboek (BW), hukum adat yang merupakan "the living law" yang berlaku di Indonesia, maupun hukum Islam yang merupakan konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang mayoritas mutlak beragama Islam.

 

Dalam BW tidak diatur masalah adopsi atau lembaga pengangkatan anak. Dalam beberapa pasal BW hanya menjelaskan masalah pewarisan dan istilah anak luar kawin atau anak yang diakui (erkend kind). Dalam hukum Islam lebih tegas dijelaskan, bahwa pengangkatan seorang anak dengan pengertian menjadikannya sebagai anak kandung di dalam segala hak tidak dibenarkan.

 

B.     PEMBAHASAN

1.     Anak Angkat Dalam Pandangan Hukum Islam

Secara etimologi Adopsi berasal dari kata "adoptie" bahasa Belanda, atau "adopt" (adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak.

Dalam bahasa Arab disebut "tabanni" yang menurut prof. Mahmud Yunus diartikan dengan "mengambil anak angkat".

Pengertian dalam Bahasa Belanda menurut kamus Hukum, berarti "Pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri". Jadi di sini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara literlijk, yaitu (adopsi) diover ke dalam bahasa Indonesia berarti anak angkat atau mengangkat anak.

Secara Terminologi, para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang defenisi adopsi, antara lain:

Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, dijumpai arti anak angkat, yaitu "anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri". Dalam ensiklopedia umum disebutkan: adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.[1]

 

      Dalam pandangan hukum Islam ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan anak angkat tersebut. Pertama, dalam pandangan hukum Islam anak angkat tidak dapat menggunakan nama ayah angkatnya, seperti dijelaskan dalam QS. al-Ahzab ayat 4-5, yang berbunyi:

$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur Ÿ@yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgtƒ Ÿ@Î6¡¡9$# ÇÍÈ   öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ ÇÎÈ  

Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[1198] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[1199]. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[2]

 

 

Kedua, antara ayah angkat dengan anak angkat, ibu angkat dan saudara angkat tidak mempunyai hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah, tetapi harus menjaga ketentuan mahram, dalam hukum Islam, antara lain tidak dibolehkan melihat 'aurat, berkhalwat, ayah atau saudara angkat tidak menjadi wali perkawinan untuk anak angkat perempuan, dan lain-lain. Ketiga, diantara mereka tidak saling mewarisi.

 

      Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.Demikian halnya tentang implikasi adanya pengangkatan anak sangat berbeda antara konsep hukum barat/BW dan Islam. Bagaimana pandangan hukum Islam/ lembaga peradilan Islam dalam hal kewarisan anak angkat tentunya akan jauh berbeda dengan ketentuan yang ada di peradilan umum.

 

Menurut ulama fiqh, dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yaitu karena hubungan kekerabatan atau keturunan (al-garabah), karena hasil perkawinan yang sah (al-mushaharah), dan karena faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya atau karena faktor saling tolong menolong antara seseorang dengan orang yang diwarisinya semasa hidupnya. Anak angkat tidak termasuk dalam tiga kategori tersebut di atas dalam arti bukan satu kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, bukan pula lahir atas perkawinan yang sah dan orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan perwalian. Oleh karena itu antara dirinya dan orang tua angkatnya tidak berhak saling mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi, maka hak waris mewarisi hanya berlaku antara dirinya dan orang tua kandungnya secara timbal balik.[3]

 

Adapun hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam sehubungan dengan anak angkat yang berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:

1.      Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya.

2.      Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia.

3.      Anak angkat bukanlah mahram, sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tinggal bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak angkat), maka (ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi anak) datanglah Sahlah bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu, istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata: Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia agar engkau menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah”[4]

 

2.      Anak Angkat dalam Pandangan BW

Menurut pasal 14 Stb. 1917 No. 129, pengangkatan anak memberi akibat bahwa status anak yang bersangkutan berubah menjadi seperti seorang anak sah. Hubungan keperdataan dengan orang tua kandungnya menjadi putus sama sekali. Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya,akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.

 

Sebagai akibat hukum pengangkatan anak yang diatur dalam Staatblaad. 1927 No. 129, maka anak angkat secara hukum

 

memperoleh nama dari bapak angkat (ps. 11) anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat (ps. 12 ayat (1), anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkat; karena pengangkatan anak, terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orang tua kandung).

 

KUHPerdata atau BW tidak mengenal masalah adopsi yang diatur dalam BW adalah adopsi atau pengangkatan anak di luar kawin yakni dalam BW buku I bab XII bagian ke III pasal 280 sampai dengan 290. Ketentuan ini boleh dikatakan tidak ada hubungannya sama sekali dengan adopsi karena KUHPerdata tidak mengenal adopsi maka bagi orangorang Belanda sampaisekarang tidak dapat mengangkat anak secara sah.

Namun demikian di negeri Belanda sendiri baru-baru ini Staten General telah menerima baik sebuah Undang-undang tentang adopsi. Landasan pemikirannya ialah timbulnya golongan manusia baru di seluruh Eropa yakni:

1.      Para orang tua yang telah kehilangan anak, dan tidak mendapatkan anak lagi secara wajar.

1.

2.      Anak-anak piatu yang telah kehilangan orang tuanya yang meninggal dalam peperangan.

2.

3.      Lahirnya banyak anak di luar perkawinan

 

Dalam pandangan hukum barat dijelaskan siapa yang boleh mengadopsi dan boleh di adopsi. Siapa yang boleh mengadopsi diatur dalam Stb 1917 No. 129 pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki beristeri atau pernah beristeri tak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, boleh mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya.Pada ayat 2 disebutkan,bahwa pengangkatan anak yang demikian harus dilakukan oleh seorang laki-laki tersebut, bersamasama dengan isterinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri. Sedang ayat 3 menyatakan, apabila kepada seorang perempuan janda yang tidak telah kawin lagi, dan oleh suaminya yang telah meninggal dunia tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagai termaktub ayat ke satu pasal ini, maka bolehlah ia mengangkat seorang laki sebagai anaknya. Jika sementara itu si suami yang telah meninggal dunia, dengan surat wasiat telah menyatakan tak menghendaki pengangkatan anak oleh isterinya, maka pengangkatan itupun tak boleh dilakukannya.

Pasal 6 dan 7 mengatur tentang siapa saja yang dapat diadopsi. Pasal 6 menyebutkan yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri pun tak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain. Pasal 7 ayat 1 menyebutkan, orang yang diangkat harus paling sedikit 18 tahun lebih muda daripada usia suami dan paling sedikit 15 tahun lebih muda daripada si isteri atau si janda yang mengangkatnya. Sedang ayat 2 mengemukakan, bahwa apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun keluarga di luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang kedua belah pihak bersama, harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, sebelum ia diangkat.Dalam Staatsblad 1917 No.129 tak ada satu pasal pun yang menyebutkan masalah motif dan tujuan daripada pengangkatan anak secara konkret, kecuali pasal 15 ayat 2 yang dapat dijadikan pedoman dalam pembahasan tentang adopsi. Pasal/ ayat tersebut mengemukakan : "pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara membuat akta otentik adalah batal demi hukum".Ketentuan tersebut beranjak dari sistem kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak laki-laki -menurut anggapan Tionghoa - akan melanjutkan keturunan mereka dikemudian hari. Di samping itu anak laki-lakilah yang dapat memelihara abu leluhur orang tuanya.

Motif lain dalam pengangkatan anak adalah sebagai pancingan yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan, bahwa dengan mengangkat anak tersebut, maka keluarga yang mengangkatnya akan mendapat anak

 

 

 

3.     Pandangan ulama mengenai  pengangkatan anak

Menurut yusuf al Qardawi menjelaskan bahwa apabila seseorang tidak boleh mengingkari nasab anak-anak yang lahir dari tempat tidurnya, maka ia tidak boleh juga mengangkat anak yang bukan anak kandungnya. Islam melihat bahwa pengangkatan anak secara mutlak itu merupakan upaya pemalsuan terhadap keaslian dan kenyataan yang menjadikan orang asing dari luar keluarga menjadi anggota keluarga yang dapat berkumpul dengan wanita-wanita keluarganya, karena anak angkat dianggapnya sebagai mahram, padahal mereka tidak mempunyai hubungan darah dengannya. Seorang ibu yang mengangkat anak, bukanlah ibu dari anak angkat tersebut, tetapi mereka tetap orang asing dalam keluarga tersebut.[5]

 

 

Adapun motif pengangkatan Anak di Indonesia

Ada beberpa alasan atau motif pengangkatan anak di indonesia, antara lain:

·         Karena tidak mempunyai anak

·         Karena belas kasihan terhadap anak tersebut disebabkan orangtua si anak tidka dapat memberikan nafkah kepadanya

·         Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orangtua (yatim piatu)

·         Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seorang anak perempuan atau sebaliknya

·         Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk mendapatkan anak kandung

·         Untuk menambah tenaga dalam keluarga

·         Dengan maksud anak yang diangkat mendapat pedidikan yang layak

·         Karena unsur kepercayaan

·         Untuk menyambung keturunan dan mendapat regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung

·         Dll

 

 

 

 

C.    PENUTUP

Dalam pandangan hukum Islam ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan anak angkat tersebut. Pertama, dalam pandangan hukum Islam anak angkat tidak dapat menggunakan nama ayah angkatnya. Kedua, antara ayah angkat dengan anak angkat, ibu angkat dan saudara angkat tidak mempunyai hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah, tetapi harus menjaga ketentuan mahram, dalam hukum Islam, antara lain tidak dibolehkan melihat 'aurat, berkhalwat, ayah atau saudara angkat tidak menjadi wali perkawinan untuk anak angkat perempuan, dan lain-lain. Ketiga, diantara mereka tidak saling mewarisi.

Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.Demikian halnya tentang implikasi adanya pengangkatan anak sangat berbeda antara konsep hukum barat/BW dan Islam. Bagaimana pandangan hukum Islam/ lembaga peradilan Islam dalam hal kewarisan anak angkat tentunya akan jauh berbeda dengan ketentuan yang ada di peradilan umum.

Menurut pasal 14 Stb. 1917 No. 129, pengangkatan anak memberi akibat bahwa status anak yang bersangkutan berubah menjadi seperti seorang anak sah. Hubungan keperdataan dengan orang tua kandungnya menjadi putus sama sekali. Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya,akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.s

DAFTAR PUSATAKA

 

Zaini,Muderis. 1998. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

 

Rosmaleni. 2007. Pengangkatan Anak Menurut PP No 54 Tahun 2007 Dalam Perspektif Fiqh Kontemporer. Tesis. Padang. UIN IMAM BONJOL PADANG

 

Rais, Muhammad. Kedudukan Anak angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum adat dan Hum Perdata, Jurnal Hukum Diktum, No 2, Volume 14, 2016

 

https://muslim.or.id/5937-anak-angkat-dan-statusnya-dalam-islam.html (diakses pada tanggal 24 September 2020)

 

Kementrian Agama RI. 2010.  Al Quran Tjawid dan Terjemah. Bandung: exagrafika



[1] Muderis Zaini. 1998. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 4-5

 

[2] Kementrian Agama RI. 2010.  Al Quran Tjawid dan Terjemah. Bandung: exagrafika, hal.418

 

[3] Muhammad Rais, Kedudukan Anak angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum adat dan Hum Perdata, Jurnal Hukum Diktum, No 2, Volume 14, 2016, hal.185-186

 Perspektif Fiqh Kontemporer. Tesis. Padang. UIN IMAM BONJOL PADANG. Hal.119

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menghilangkan Tahi Lalat dengan bahan Alami

Tugas Kuliah Analisa Kasus