MAKALAH
KONTEMPORER
Tentang
Cerai Gugat Karena Suami Jatuh Miskin
DISUSUN OLEH:
ALFI SYUKRI (2020040003)
DOSEN PEMBIMBING
Dr. ZAINAL AZWAR, M. Ag
PROGRAM PASCASARJANA PRODI HUKUM KELUARGA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
2020/1442 H
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan
adalah bahtera yang harus dijalankan oleh suami dan istri dan banyak hal yang
mnejadi rintangan dalam menjalankannya sehingganya ada yang harus berakhir
dijalan menyebabkan perceraian. Banyak hal yang menjadi faktor perceraian dalam
perkawinan salah satunya yang mendominasi adalah pertengkaran terus menerus
terjadi akibat finansial tau keuangan yang tidak memenuhi kebutuhan
rumahtangga. Untuk perceraian itu sendiri sama halnya dengan perkawinan di
indonesia yang sebelum tahun 1974 beragam pendapat mengenai aplikasi hukum
islam yang kemudian diseragamkan pelaksanaanya dengan lahirnya Undang-undang
tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam undang undang perkawinan yang di akui oleh
negara perkawina yang tercatat di Kantor Urusan Agma dan perceraian di
Pengadilan Agama. Percerain di Pengadilan agama terdapat dua macam yaitu, pertama
diajukan oleh suami yang dinamakan cerai talak dan kedua cerai gugat
di ajukan oleh istri. Istilah talak ada dalam hukum islam namun istilah cerai
gugat tidak ada, dan dalam prakteknya ada yang mengajukan cerai gugat karena
alasan suami jatuh miskin. Penulis tertarik membahas ini menjadi sebuah karya
ilmiah dengan pertanyaan dasar hukum
islam mengenai cerai gugat? Dan bolehkah melakuakan perceraian dengan alasan
suami jatuh miskin? Penulis akan menganalisi ini dengan judul karya ilmiah
“Cerai Gugat dengan Alasan Suami Jatuh Miskin”
B. Pertanyaan Penelitian
1.
Apakah
boleh istri mengajukan perceraian?
2.
Apa saja syarat istri mengajukan perceraian di
Pengadilan pengadilan agama?
3.
Dasar
hukum islam dari hukum acara cerai gugat?
4.
Bagaimana
pandangan hukum islam mengenai istri
mengajukan perceraian jika suami jatuh miskin?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mampu
memahami dan menjelaskan alasan boleh
istri mengajukan perceraian.
2.
Mampu
memahami dan menjelaskan syarat istri mengajukan perceraian.
3.
Mampu
memahami dan menjelaskan dasar ketentuan cerai gugat.
4.
Mampu
membuat kesimpulan pandangan hukum islam mengenai cerai gugat dengan
alasan suami jatuh miskin.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkawinan
Di indonesia terdapat
banyak pengertian perkawinan, kemudian disepakati menjadi satu pengertian
terdapat dalam undang undang No 1 tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian ini sesuai
dengan dasar pendapat Ghazali dalam bukunya[1]
yaitu perkawinan dalam Islam sama dengan
pernikahan, yang berasal dari kata nikah (nakaha) yang menurut bahasa
artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan bersetubuh (wath’i). Kata
nikah sering digunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti
akad nikah. Secara terminologi bisa di
ambil pendapat Wahbah al-Zuhaily dengan mendefinisikan perkawinan sebagai akad
yang telah ditetapkan oleh syar’i agar seorang laki-laki dapat mengambil
manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya.[2]
Dan tujuan perkawinan sesuai dengan firman
Allah dalam al-Qur’an surah al-Rum ayat 21:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. [3]
Perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia dalam rangka
ukhwah dan ibadah yang menjadi fitrah manusia, di
samping itu pernikahan merupakan penyaluran kebutuhan biologis.
Pernikahan
memiliki orientasi yang tertera diatas dan juga memiliki akhir, diantaranya
penyebab berakhir perkawinan dalam
peraturan yang berlaku, ada 3 yaitu:
1.
Kematian
2.
Perceraian
dan
3.
Atas
keputusan pengadilan (UU no 1 1974, 13).
Salah satu penyebab putusnya perkawinan ialah karena perceraian.
Perceraian yang memiliki kekuatan hukum juga di atur dalam Undang-undang No 1
Tahun 1974 Pasal 39
(1)
Perceraian
hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Negara telah
mengatur aturan mengenai hukum keluarga agar terjadi penyeragaman karena
indonesia besar dan beragam dan kita bisa menelusuri ddan memahami dasar hukum
tersebut agar terhindar dari sikap taklid dalam pelaksanaannya. Begitupula
mengenai perkawinan dan perceraian.
B. Perceraian
1.
Pengertian perceraian
Perceraian
secara kebahasaan berarti putusnya perkawinan yang dalam bahasa Arab disebut furqah
atau talak. Namun, dalam bahasan fiqh, kata talak lah yang sering digunakan.
Secara etimologi, talak berasal dari kata Arab “thalaq” artinya membuka
ikatan (hal al-qayidi), dan membatalkan perkawinan.[4]
Sedangkan furqah berarti menceraikan dan memutuskan.[5]
Baik talak maupun furqah yang diartikan perceraian memiliki dua maksud, pertama
perceraian secara umum dan kedua perceraian secara khusus. Artinya
perceraian secara umum ialah segala bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh
suami atau diputuskan oleh pengadilan, ataupun yang putus dengan sendirinya
karena suami atau isteri meninggal. Arti khusus ialah bentuk perceraian yang
dijatuhkan oleh suami.[6]
Talak
diambil dari kata ithlaq, artinya melepaskan atau irsal yang berarti
memutuskan atau tarkun artinya meninggalkan, firaakun artinya
perpisahan. Dalam istilah agama, talak adalah melepaskan hubungan perkawinan
atau bubarnya perkawinan.[7]
Dalam Kompilasi Hukum Islam, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama karena suatu sebab tertentu.[8]
Menurut istilah syara', talak, yaitu:
حل ربطة
الزواج وإنهاء العلاقة الزوجية
“Melepas tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri.”
Al-Jaziri mendefinisikan:
الطلاق إزاله التكاح
أو نقصان حله بلفظ مخصوص
“Talak ialah menghilangkan ikatan
perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata
tertentu.”
Menurut Abu
Zakaria Al-Anshari, talak adalah: “melepas tali akad nikah dengan kata talak
dan semacamnya”.[9]
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan
perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal
talak ba'in. Adapun arti mengurangi melepaskan ikatan perkawinan adalah
berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak
yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari
satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj'i.[10]
2.
Syarat Sah Talak
Syarat yang harus dipenuhi agar talak sah:
a.
Sehat
akal ('aqil).
b.
Dewasa
(baligh) .
c.
Dengan
kehendaknya sendiri (mukhtar)
Jika suatu talak diberikan oleh seorang yang tak sehat akalnya,
telah meriwayatkan hadis berikut dari Nabi SAW:
كل الطلاق جائز الاطلاق المغلوب علعتله
“Setiap talak sah hukumnya kecuali diberikan oleh orang yang
hilang ingatannya".
Apabila suatu
talak diberikan tanpa sengaja atau da lam keadaan terpaksa, talak itu tidak sah
menurut Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad ibnu Hanbal, Abdullah bin Abbas,
dan lain-lainnya, tetapi Imam Abu Hanifah menganggapnya sah. Seandainya talak
itu diucapkan oleh orang yang mabuk, ia tidak sah menurut semua mazhab hukum
Islam. Sedangkan kalau dijatuhkan dalam keadaan marah ia dapat dianggap tak
sengaja dan karenanya tidak sah sebagai mana disebutkan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan al-Hakim. Begitu pula
talak yang diberikan secara keliru, tidak memutuskan perkawinan, berdasarkan
pendapat semua ulama.Tidak ada cerai sebelum menikah. Adapun talak tiga yang
diucapkan sekali dalam satu waktu atau ketika isteri sedang haid atau sedang
nifas karena melahirkan anak, merupakan Talak Raj'i, dan menurut sebagian ulama
haram hukumnya.[11] Ini merupakan pendapat dari Abdullah bin
Umar, Said bin al-Musayyab, dan thawus. Sedangkan talak yang dijatuhkan kepada
seorang perempuan yang sedang hamil, hukumnya sah, menurut semua ulama, kecuali
golongan Hanifah.[12]
Talak seperti itu dibolehkan, hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah
SAW. sebagai berikut:
أبن الحلال إلى الله تعالى الطلاق )رواه أبو
داود(.
“Sesungguhnya hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. (H.R. Abu Daud). Dalam lafazh tersebut
diartikan bolehnya talak tapi hal tersebut merupakan perbuatan yang dibenci
Allah.
3.
Pengertian khulu’
Khulu' adalah suatu perceraian di
mana seorang isteri membayar sejumlah uang sebagai 'iwadl (pengganti) kepada
suaminya. Keuntungan khulu', tidak tergantung pada adanya ta'lik atau syarat
syarat lain. Hal ini masih tergantung pada kesediaan suami untuk menerima iwadl
itu karena tanpa persetujuannya tidak akan terjadi khulu'. Khulu' ber asal dari kebiasaan masyarakat
Arab sebelum Islam, yang semula merupakan pengembalian mas kawin atau
pemberian-pemberian sewaktu bercerai.[13]
Khulu' yang terdiri dari lafaz kha-la-'a yang berasal dari bahasa
arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.
Dihubungkannya kata khulu' dengan perkawinan karena dalam Al-Qur'an disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu
merupakan pakaian bagi suaminya dalam surat al-Baqarah (2) ayat 187:
هن لباس لكم والشم
لباس لهن
Artinya: “mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu
merupakan pakaian bagi mereka”[14]
Penggunaan kata
khulu' untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya
berusaha menanggalkan pakaiar: itu dari suaminya. Dalam arti istilah hukum dalam beberapa
kitab fiqh khulu' diartikan dengan:
فرقة بعوض بلفظ الطلاق
أو الخلع
“Putus
perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, meng. gunakan ucapan thalaq atau
khulu”[15]
Khulu' itu merupakan
satu bentuk dari putusnya perkawinan, namun beda dengan bentuk lain dari
putusnya perkawinan itu, dalam khulu' terdapat uang tebusan, atau ganti rugi
atau 'iwadh. Untuk maksud yang sama dengan kata khulu' itu ulama meng gunakan
beberapa kata, yaitu: fidyah, shulh, mubaraah. Walaupun dalam makna yang sama, bisa dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Bila
ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang
diberikan waktu nikah disebut khulu'. Bila ganti rugi adalah separuh dari
mahar, disebut shulh, bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima
disebut fidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi di sebut mubaraah.[16]
Bila seorang
istri melihat pada suaminya sesuatu yang tidak diridhai Allah untuk melanjutkan
hubungan perkawinan, sedangkan si suami tidak merasa perlu untuk menceraikannya,
maka si istri dapat meminta perceraian dari suaminya dengan kompensasi ganti
rugi yang diberikannya kepada suaminya. Bila suami menerima dan menceraikan istrinya
atas dasar uang ganti itu, maka putuslah per kawinan antara keduanya. Khulu'
merupakan salah satu bentuk dari perceraian, bahkan dalam beberapa literatur
fiqh ditempatkan dalam ruang lingkup bahasan atau kitab thalag hingga ketentuan
yang berlaku dalam thalaa sebagian besarnya berlaku juga untuk khulu'. Khulu'
itu perceraian dengan kehendak istri.[17]
4.
Hukum Khulu'
Menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari
kebolehannya terdapat dalam Al-Qur'an dan terdapat pula dalam hadis Nabi; telah berlaku secara umum baik sebelum datangnya Nabi atau sesudahnya. Adapun dasarnya dari Al-Qur'an adalah
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229[18]:
فإن خفتم ألا يقيما ځوة الله فلا جناح عليهما
فيما ادت به ...
Artinya: “jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak menjalan kan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk
menebus dirinya...”
Dasar kebolehannya dalam hadis Nabi adalah sabdanya dari Anas bin Malik menurut riwayat al-Bukhari:
أنامرأة ثابت بن قيس
أت ت الني صل الله
عليه و سلم فقالت: یا رسول ال له
ثابت بن قيس ما أعيب
عليه في خلق و لا
دين ولكن أكره الكفر في
الاسلام فقال رسول الله صلى
الله عليه و سلم: أتردين عليه حديقته؟ فقالت
نعم قال رسول الله صلى
الله عليه و سلم: أقبل الحديقة و طلقها
تطلقة
Artinya : Istri
Tsabit bin Qeis datang mengadu kepada Nabi SAW. dan berkata: "Ya Rasul
Allah Tsabit bin eis itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak
pula dari segi keberagamaannya. Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam
Islam. Rasul Allah SAW. berkata: "Maukah kamu mengembalikan
kebunnya?". Si istri menjawab: "ya mau". Nabi berkata kepada
Tsabit: "Terimalah kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai".
Sebagian ulama,
di antaranya Abu Bakar bin Abdullah al Muzanniy berpendapat tidak bolehnya
khulu' tersebut bahkan bila dilakukan, maka yang berlangsung adalah thalaq
bukan khulu'. (Ibnu Qudamah: 324) Alasan yang dikemukakan oleh ulama ini adalah
bahwa khulu' yang pada hakikatnya si suami mengambil kembali mahar yang telah
diberikannya kepada istrinya dalam bentuk iwadh.
Ibnu Sirin dan
Abi Qalabah mengatakan bahwa tidak boleh khulu' kecuali bila jelas di perut
istri itu telah terdapat janin dalam arti dia sudah membuat suatu perbuatan
keji, sebagaimana disebut kan Allah dalam surat an-Nisa' ayat 19:
ولا تعضلوهن لتذهبوا بعض ما تموم إلا أن
يأتين بفاحشة مبينة
Artinya : “janganlah kamu enggan
terhadapnya supaya kamu mendapat kembali apa yang telah kamu berikan, kecuali
ia telah jelas memperbuat suatu perbuatan keji.
Ada beberapa hal dalam ayat tersebut
yang merupakan karakteristik dari perceraian dalam bentuk khulu dibandingkan
dengan yang lainnya, yaitu:
Pertama: perceraian dalam bentuk khulu' disebabkan oleh adanya sesuatu,
yaitu kekhawatiran dalam penyelenggaraan perkawinan itu si istri merasa tidak
akan dapat menegakkan ketentuan Allah berkaitan dengan hak dan kewajibannya.
Kedua: perceraian itu menggunakan uang tebusan
atau ganti rugi atau iwadh dari pihak istri yang diterima oleh suami yang
menceraikannya.
Ketiga: keinginan perceraian muncul dari pihak
istri.[19]
Sebagian
ulama di antaranya Zhahiriy dan Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa khulu' sah
terjadinya bila didahului alasan tidak dapat menegakkan hukum Allah, sedangkan
tanpa alasan tidak dapat dilakukan khulu'. Alasan yang digunakan ulama ini
adalah zhahir ayat yang menyatakan adanya kekhawatiran tidak menegak kan hukum
Allah. Kalau tidak demikian keadaannya tidak boleh suami mengambil kembali apa
yang telah diberikannya kepada istrinya dalam bentuk mahar. Ini adalah
peristiwa khulu'. Alasan ini dikuatkan dengan hadis Nabi dari Tsauban menurut
riwayat Abu Daud yang mengatakan:
أنا إمرأة سألت
زوجها الطلاق من غير بأس فحرام عليها رائحة الجنة
“Istri mana
saja yang meminta thalaq dari suaminya tanpa alasan, diharamkan atasnya bau
surga.”
5.
Syarat Khulu’
Dalam kitab karangan wahbah az-zuhaili bernama Al-fikh al-islam syarat
khulu’ ada tiga, yaitu:
a.
memiliki
kemampuan/ berhak menalak istri, maksudnya yaitu suami sah dan memiliki akal
sebagai bentuk kemampuan untuk menjatuhkan talak kepada istrinya.
b.
Istri
sah yang berarti merupakan istri sah dari perkawinan, walaupun belum pernah
duqul.
c.
ba’dal
khulu’ yaitu suami jika menyiyakan permintaan istri khulu’ harus membayar harta
yang pantas dijadikan mahar.
Dengan hal di atas maka khulu’ bisa dilaksanakan[20].
BAB
III
CERAI
GUGAT DENGAN ALASAN SUAMI JATUH MISKIN
A.
Cerai Gugat
Cerai gugat adalah
istri yang akan melakukan perceraian membuat gugatan agar bisa melakukan
perceraiaian ke Pengadilan Agma. Istri yang hendak memutuskan hubungan
perkawinan dengan suaminya sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 Undang-undang
Perkawinan jo pasal 14 sampai dengan 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggalnya, disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk
keperluan itu.
(1) Pengadilan
Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat
minta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian
(BP4) setempat (pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Im Nomor 3 Tahun
1975). Bila terjadi perdamaian, maka tidak all dapat diajukan lagi gugatan
perceraian yang baru berdasarkan Inde alasan-alasan yang sama;
(2) Tata cara
perceraian yang berhubungan dengan gugatan dilakukan sebagaimana diatur dalam
pasal 19 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975; (pasal
30 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975);
(3) Suatu
perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap: (pasal 30 ayat
(4) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975).
Setelah meninjau pasal 39 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal
serta pasal 30 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.[21]
Dalam Kompilasi hukum islam(KHI) juga mengatur tentang cerai gugat yaitu pasal
132-135 yaitu :
Pasal 132
1.
Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2.
Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama
memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat
melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 133
1.
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan
setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung
sejak tergugat meninggalkan gugatan
meninggalkan rumah.
2.
Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak
mau lagi kembali ke rumah kediaman besama.
Pasal 134 Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab‐sebab perselisihan
dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang‐orang yang
dekat dengan suami isteri tersebut.
Di atas merupakan payung hukum yang
mengatur mengenai cerai gugat.
B. Pengertian
Miskin
Kemiskinan merupakan suatu yang
kompleks pembatasannya karena sangat bergantung pada persepsi yang dibangun
berdasarkan lingkungan. Parsudi Suparlan mendefinisikan
kemiskinan adalah suatu standar tingkat kehidupan yang rendah, yaitu tingkat
kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibanding dengan standar
kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.[22] Nabil Subhi al-Thawil seperti dikutip Ahmad
Sanusi mendefinisikan kemiskinan sebagai tidak adanya kemampuan untuk
memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokok. Kebutuhan-kebutuhan itu dianggap pokok,
karena ia menyediakan batas kecukupan minimum untuk hidup manusia yang layak
dengan tingkatan kemuliaan yang dilimpahkan Allah atas dirinya.[23]
Fran Magnis Suseno mendefinisikan miskin adalah orang yang tidak menguasai
sarana-sarana fisik secukupnya untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan dasarnya,
untuk mencapai tingkat minimum kehidupan yang masih dapat dinilai manusiawi.[24]
Istilah miskin dalam bahasan fiqh dibedakan
dengan istilah fakir, madzhab Hanafi memberikan definisi fakir ialah mempunyai
harta atau mata pencaharian tetapi di bawah standar (kecukupan), dan orang
miskin ialah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak mempunyai mata
pencaharian. Sedangkan madzhab Syafi’i memberikan definisi kebalikannya; orang
miskin adalah yang mempunyai harta atau mata pencaharian tetapi di bawah
kecukupan, dan orang fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak
mempunyai mata pencaharian. Ali Yafie membuat definisi miskin ialah yang
memiliki harta benda atau mata pencaharian atau keduanya, hanya menutupi
seperdua atau lebih dari kebutuhan pokok. Sedangkan fakir ialah mereka yang
tidak memiliki sesuatu harta benda atau tidak mempunyai mata pencaharian tetap,
atau mempunyai harta benda tetapi hanya menutupi kurang dari seperdua kebutuhan
pokoknya.
C. Cerai Gugat
Dengan Alasan Suami Jatuh Miskin
Cerai gugat adalah perceraian yang
di ajukan oleh istri ke Pengadilan Agama sebagai lembaga yang salah satunya
berwewenang diberikan oleh negara mengenai perceraian. Perceraian yang di
ajukan oleh istri dalam hukum islam sendiri disebut khulu’. Berarti dasar hukum
yang dipakai cerai gugat ialah dasar hukum dari khulu’. Cerai gugat di indonesia
diperbolehkan jika pasal 116 dalah kompilasi hukum islam tidak terlaksana
menjadi alasan mengajukan cerai gugat sesuai dengan teknis di atur dalam
Kompilasi hukum islam pasal 132-134. Point penting dalam pasal 132-134 yang
menjadi alasan mengajukan cerai gugat yaitu:
1.
Suami
telah meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut.
2.
suami
telah mendapatkan pemberitahuan mengenai peringatan jika tidak kembali kepada
istri.
3.
terjadi
perselisihan yang tidak bisa didamaikan
Point-point
di atas erat kaitannya dengan pengajuan cerai gugat dengan alasan suami jatuh
miskin karena meninggalkan istri merupakan bentuk tidak bertanggung jawab suami
dalam pemberian nafkah bisa dibiaskan kepada suami jatuh yang tidak mampu
melaksanakan kewajiban pemberian nafkah, namun hal ini tidaklah berarti mutlak.
Pemberitahuan peringatan dan usaha mendamaikan merupakan ramburambu perjalanan
rumah tangga dapat dilanjutkan atau besar kemungkinan mudharat terjadi jika
tidak menemukan sebuah titik terang, dan kemiskinan salah satu penyebab konflik
dalam rumahtangga berkepanjangan bisa jadi membuat titik terang rumah tujuan
berumahtangga tidak bisa ditemukan.
Kemiskinan seperti yang telah
penulis uraikan pada bab di atas bisa disumpulkan memiliki mata pencaharian
atau pekerjaan namun hasil dari usaha tersebut tidak mampu memnuhi kebutuhan
rumahtangga. Dalam islam sendiri cerai gugat yang sama artinya dengan khulu
yang dasar hukumnya makruh sesuai dengan hadits nabi kasus pertamakali istri
meminta perceraian yang di ajukan kepada rasulullah yaitu :
“Istri Tsabit bin Qeis datang
mengadu kepada Nabi SAW. Dan berkata: “Ya Rasul Allah Tsabit bin eis itu tidak
ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya. Cuma saya tidak senang akan terjadi
kekufuran dalam Islam. Rasul Allah SAW. Berkata: “Maukah kamu mengembalikan
kebunnya?”. Si istri menjawab: “am au”. Nabi berkata kepada Tsabit: “Terimalah
kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai”.
Yang dimaksudkan di atas permintaan
istri untuk bercerai karena istri tsabit bin qeis takut dirinya kufur kepada
allah yang seharusnya bersyukur atas menjalani rumahtangga dengan seorang yang
agama baik serta kelakuannya seperti tsabit adalah pendapat jumhur ulama. Sedangkan
ulama Zhahiri dan ibnu al-Munzir berpendapat berbeda yang mana harus ada alasan
tidak dapat menengakkan hukum Allah karena dalil dasarnya hadits nabi : “istri
mana saja yang meminta thalaq dari suaminya tanpa alasan, diharamkan atasnya
bau surga.”jika tidak maka tidak diperbolehkan khulu’.
Dari dalil-dalil di atas penulis
berkesimpulan bahwa pada dasarnya perceraian adalah perbutan dibenci oleh Allah
namun diperbolehkan. Suami jatuh miskin dapat berakibat suami tidak memenuhi
kewajibannya dan atau kemiskinan menjadi penyebabterjadinya pertengkaran yang
tidak ada habisnya. Istri yang tidak mampu bertahan dalam situasi kemiskinan
suami boleh mengajukan perceraian karena jika posisi seperti istrit sabit yang
merasa akan jatuh kepada kekufuran boleh bercerai oleh Rasul dengan
mengembalikan mahar kembali . Istri yang tidak mampu bertahan dalam kondisi
kemiskinan dan berkemungkinan lebih baik jika bercerai yang sebelumnnya harus
di usahakan perdamaian serta ukuran manfaat dan mudarat keberlansungan
perkawinan, maka boleh melakukan perceraian.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari karya tulis ini bisa disimpukan
adalah:
1.
Istri
boleh mengajukan cerai gugat ke Pengadilan dengan tiga alasan menjadi syarat : pertama
suami telah dua tahun tidak kembali kediaman istri, kedua terjadinya
pertengkaran terus menerus, ketiga telah
diupayakan perdamaian.
2.
Dasar
hukum cerai gugat sama dengan khulu’ yang berarti istri mengajukan perceraian
kepada suami, yang dasar hukumnnya makruh..
3.
kebolehan
istri mengajukan cerai gugat dengan alasan suami jatuh miskin adalah mudharat
jika tetap memilih melanjutkan perkawinan.
B. Saran
1.
Menanamkan
prinsip ke genarasi anak-anak agar menjadi pribadi yang mampu bertahan dalam
kondisi finansial tidak baik serta nilai rasa syukur dari dini.
2.
Pemerintah
yang di wakili oleh KUA mengsosialisaikan agar calon pengantin siap dengan
konflik yang terjadi dalam rumaha tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Noeh. Peradilan Agama Islam Di Indonesia. Intermasa
Ahmad, Sanusi.
1999. Agama di Tengah Kemiskinan. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Al-Zuhaily, Wahba. 1998. Al-fiqh Al-islam Wa
Adillatuhu Juz VII, Beirut: Dar Al-fikr
Bunyamin, Mahmudin. 2017. Hukum Perkawinan Islam , Bandung:
Pustaka Setia
Dahlan, Dahrizal. 2003. Putusnya Perkawinan Menurut UU.No 1
Tahun 1974 dan Tinjauan Hukum Islam, Jakarta: Kartika Insan Lestari
Ghozali, Abdul Rahman. 2012. Fiqih Munakahat.
Jakarta: Kencana
Hadi, Mufaat Ahmad. 1992. Fiqh Munakahat. Jakarta: Dutra
Grafika
Ibnu, Rusyd. Badayat al-Mujtahid. Semarang: Maktabah Usaha
Keluarga
Ibrahim,
Al-Bajuri. Hasiyah al-Bajuri ‘Ala Ibn Qasim al-Ghazi. Indonesia: Daar
al-Ikhya alArabiyah
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an (Kementerian Agama Republik
Indonesia). 2012. Al-Qur’an Keluarga Edisi Rahmah. Bandung: CV Media
Fitrah Rabbani
Muhaad, Thalib. 1993. Perkawinan Menurut Islam. Surabaya:
Al-Ikhlas
Rahman, Abdur.
1996. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. Jakarta: Raja Grafindo
Rahmat, Hakim. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung:
Pustaka Setia
Syarifuddin,
Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam Di
Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta:
Kencana
Syarifuddin,
Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana
Wahbah, Az-zuhaili.1404. Al-fikh
al-isla. Damaskus: Darul Fikr
[1] Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat,
Jakarta: Kencana, 2012, hlm 7.
[2] Al-Zuhaily, Wahba, Al-fiqh Al-islam Wa
Adillatuhu Juz VII, Beirut: Dar Al-fikr, 1998, hlm 29.
[3]
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an (Kementerian Agama Republik Indonesia), Al-Qur’an
Keluarga Edisi Rahmah. Bandung: CV Media Fitrah Rabbani, 2012, hlm 406.
[4] Ibrahim
al-Bajuri, Hasiyah al-Bajuri ‘Ala Ibn Qasim al-Ghazi, Indonesia: Daar al-Ikhya
alArabiyah, t.th., hlm. 139
[5] Hadi Mufaat
Ahmad, Fiqh Munakahat, Jakarta: Dutra Grafika, 1992, hlm. 164.
[6] Ibid.
[7] Muhaad Thalib,
Perkawinan Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, hlm. 97
[8] Rahmat Hakim, Hukum
Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 158
[9] Bunyamin
Mahmudin, Hukum Perkawinan Islam , Bandung: Pustaka Setia, 2017, hlm.
175
[10] Ibid.
[11] Rahman Abdur, karakteristik
Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta:
Raja Grafindo, 1996, hlm. 314
[12] Ibid
[13] Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam Di Indonesia, Intermasa, hlm. 210
[14] Syarifuddin
Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2014, hlm. 231
[15] Ibid
[16] Ibnu Rusyd, badayat al-Mujtahid, semarang; Maktabah Usaha Keluarga, hlm. 50
[17] Syarifuddin
Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2014, hlm. 232
[18] Ibid
[19] Syarifuddin
Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2014, hlm. 234
[20] wahbah az-zuhaili, Al-fikh al-isla,Damaskus: Darul Fikr, 1404 hlm 490
[21] Dahlan
Dahrizal, Putusnya Perkawinan Menurut UU.No 1 Tahun 1974 dan Tinjauan Hukum
Islam, Jakarta: Kartika Insan Lestari, 2003, hlm. 131
[22] 30Ahmad Sanusi, Agama di Tengah Kemiskinan, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 13
[23] Ibib, hlm. 12
[24] Ibid
Komentar