SHALAT JUMAT
DI TENGAH PANDEMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh: Ilva
Gufri/ 2020040018
Dosen
Pembimbing: Dr. Zainal Azwar, M.Ag
Abstrak
Kondisi
pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia berdampak pada kehidupan beragama
umat Islam, seperti shalat jamaah dan shalat Jumat. Pelaksanaan ibadah masa pandemi khususnya shalat berjamaah dan
shalat jumat memunculkan polemik dalam masyarakat.Pada asalnya bahwa hukum
shalat jumat itu adalah fardhu ‘Ain.Namun ketika terjadi pandemi dalam hal ini
para ulama berbeda pandangan Dalam hal kebolehan atau tidaknya mengganti shalat
jumat dengan shalat zuhur. Rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah
bagaimana pendapat ulama tentang shalat jumat di tengah pandemi berdasarkan
hukum islam. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif dengan menggunakan metode studi pustaka dengan pendekatan
normatif.Hasil dari penelitian ini adalahSebagaian
besar para ulama memperbolehkan meniadakan shalat jumat ketika seseorang berada
dalam kawasan yang penularan virusnya lebih tinggidan menggantinya dengan
shalat zuhur karena memperhatikan mudharatnya ketika melaksanakan shalat jumat
lebih besar daripada manfaatnya.Kemudian ketika seseorang berada dalam kawasan
yang penularan virusnya lebih rendah diperbolehkan shalat berjamaah termasuk
shalat jumat, namun dengan jalan sosial
distancing.
PENDAHULUAN
Dampak
coronavirus disease(Civid-19)terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan politik,
mungkin tidak begitu luar biasajika dibandingkan dengan dampaknya terhadap
agama. Yang terakhir ini boleh dibilang sebagaifenomenabaru mengingat dalam
sejarah wabahbelum ditemukan fakta sejarah sosial di mana penyebaran virus
berdampaksecara formalterhadap pelaksanaan ibadah. Kalaupun pernah terjadi pada
masa Rasulullah saw, sebabnya bukan karena wabah tetapi karena hujan deras dan
banjir. Para ulama menganalogikan Wabah dengan hujan deras dalam hal keduanya
sama-sama dapat membahayakan jiwa, bahkan menurutnya, wabah itu lebih berbahaya
dan mengancam jiwa daripada hujan deras.
Seorang
muslim wajib meyakini bahwa setiap kejadian yang terjadi di alam semesta ini
tidaklah luput dari ketentuan Allah Swt.Pemerintah bekerja sama dengan
Komisi Fatwa MUI, sebagai Lembaga tertinggi di bidang Agama dalam menentukan
permasalahan yang menjadi polemik di tengah masyarakat pun telah mengeluarkan
Fatwa terkait himbauan melakukan shalat berjamaah di rumah atau melakukan
social distancing dalam shaf shalat berjamaah dan meniadakan pelaksanaan shalat
jumat sebagai bahagian dari upaya memutus rantai penyebaran virus corona.
Syariat Islam
selalu hadir sebagai syariat yang sesuai dengan sejarah manusia sepanjangzaman
sejak masaNabi Adam hingga manusia akhir zaman.Islam selalu cocok dan sesuai
dengan segala iklim dan segala bangsa di seluruh dunia.Ia agama yang tetap
sempurna ketika dihadapkan pada segala perubahan yang terus menerus ada.Islam
datang dengan kemudahan dan keluwesan bukan agama yang jumud (stagnan)
tidak bisa berkembang saat merespon perubahan keadaan zaman.
Berdasarkan hal tersebut maka bagaimana hukum
pelaksanaan shalat jumat waktu pandemi menurut perspektif hukum islam akan
lebih dibahas lebih dalam tulisan ini.
PEMBAHASAN
A. Kajian teoritis
1. Shalat jum’at
Shalat Jum’at adalah shalat wajib
dua raka’at yang dilaksanakan dengan berjama’ah diwaktu Zuhur dengan didahului
oleh dua khutbah.[1]
Shalat jumat hukumnya fardhu ‘ain
(wajib) dan dianggap kafir orang yang mengingkarinya karena telah ditetapkan
dengan dalil-dalil yang jelas.Shalat jumat adalah ibadah wajib yang tersendiri
dan bukan sebagai pengganti shalat zuhur.Karena tidak dapat diganti dengan niat
shalat zuhur bagi mereka yang tidak berkewajiban melaksanakannya, seperti
musafir dan perempuan. Shalat jumat lebih ditetapkan waktunya daripada shalat
zuhur, bahkan ia sebaik-baiknya shalat. Hari jumat merupakan hari paling baik
dari sekian hari yang ada dan sebaik-baiknya hari yang disinari matahari.[2]
Dasar hukum shalat jumat terdapat
dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sÎ)ÏqçRÍo4qn=¢Á=Ï9`ÏBÏQöqtÏpyèßJàfø9$#(#öqyèó$$sù4n<Î)Ìø.Ï«!$#(#râsuryìøt7ø9$#4
öNä3Ï9ºs×öyzöNä3©9bÎ)óOçGYä.tbqßJn=÷ès?ÇÒÈ
9. Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Kewajiban terhadap shalat jumat
tidak berlaku bagi 6 hal dibawah ini
a. Hamba sahaya (budak belian)
b. Perempuan
c. Anak kecil (yang belum baligh)
d. Orang sakit yang tidak dapat menghadiri Jumat
e. Musafir, yakni orang yang sedang dalam perjalanan jauh
f.
Orang
yang udzur jum’at, seperi ada bencana alam atau bahaya.[3]
Dalam Fiqih Islam Wa Adillatuhu karangan Wahbah Zuhaili juga
dijelaskan bagi orang yang diwajibkan shalat jumat atas mereka diharuskan dalam
keadaan sehat, merasa aman, medeka, dapat melihat mampu berjalan, tidak ada
yang menahannya, tidak sedang hujan lebat, berlumpur, hujan salju, dan
sebagainya. Tidak diwajibkan shalat jumat bagi orang yang sakit karena ia tidak
mampu untuk melaksakannya. Tidak diwajibkan pula bagi perawat yang menjaga
orang sakit karena jika ia pergi pasiennya akan meninggal atau kabur. Tidak
diwajibkan bagi orang tua yang sudah pikun, serta orang yang merasa takut akan
keselamatan jiwa dan hartanya, atau merasa takut kepada penagih hutang, orang
zalim, atau takut fitnah. Tidak diwaibkan shalat jumat bagi seorang hamba
sahaya, karena ia sibuk melayani tuannya. Tidak wajib pula bagi orang buta,
menurut Abu Hanifah.Akan tetapi wajib hukumnya menurut mazhab hambali dan
sebagian pengikut mazhab maliki dan mazhab syafi’i, jika memang ada, yaituada
yang memapah orang buta itu.Namun tetap tidak diwajibkan shalat jumat bagi
orang yang buta meskipun ada yang memapahnya, menurut Abu Hanifah, Maliki, Dan
Syafi’i.tidak pula diwajibkan bagi orang yang lumpuh kakinya, atau putus
kakinya, dan sakit parah, lalu orang yang dipenjara, dan orang-orang yang mendapat
halangan karena hujan, lumpur, dan hujan salju. Tidak pula diwajibkan bagi
orang-orang dusun, menurut mazhab Hanafi.[4]
Shalat jumat diwajibkan kepada semua orang yang sudah mampu
melaksnakan perintah agama (baligh dan berakal), merdeka, laki-laki, menetap
dan bukan musafir, tidak sedang sakit atau halangan lainnya dan mendengar azan.
Syarat
wajib shalat jumat diantaranya:
a. Islam, bagi orang kafir tidak wajib berjum’at.
b. Laki-laki, tidak diwajibkan bagi kaum perempuan.
c. Baligh, (dewasa), tidak wajib bagi anak-anak.
d. Aqil (berakal), tidak wajib bagi orang gila.
e. Sehat, tidak wajib bagi orang sakit atau berhalangan berjum’at.
f.
Merdeka
(bukan hamba sahaya).
g. Muqim (diam atau tinggal dalam negeri) bukan orang musyafir.
Adapun yang menjadi syarat sahnya shalat jumat antara lain:
a. Dua raka’at shalat jum’at dan dua khutbahnya
harus masih masuk waktu shlat zuhur.
b. Dilaksanakan disuatu perkampungan atau perkotaan (maksudnya apabila yang
shalat jum’at itu semuanya musafir maka shalat jum’atnya tidak sah).
c. Minimal mendapati satu raka’at (dengan berjama’ah) dari dua raka’at shalat
jum’at, maka jika seorang makmum shalat jum’at tidak mendapati satu raka’at
shalat jum’at bersama imam, maka ia tetap niat shalat jumat tetapi perakteknya
shalat juhur empat raka’at.
d. Jumlah makmum yang shalat jum’at minimal 40 orang dari penduduk setempat
atau penduduk asli (mustauthin) yang telah wajib jum’at.
e. Shalat jum’atnya tidak berbarengan atau didahului oleh shalat jum’at
dimasjid lain yang masih satu perkampungan. Artinya tidak boleh ada dua jum’at
atau lebih dalam satu kampung atau satu tempat
yang sama.[5]
f.
Harus
didahului dua khutbah.
Rasulullah SAW. bersabda :
الجمعة حقّ واجب علي
كلّ مسلم الا أربعة عبد مملوك أوامرأة أو صبيّ أومريض
Artinya
:Shalat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim kecuali empat
golongan yaitu budak belian, wanita, anak-anak, orang
sakit. (HR. Abu Dawud).
2. Pandemi/ wabah
Dalam
tulisan Arab pada abad keempat belas dan setelahnya, seseorang berulang kali
menemukan pepatah, “Setiap tha’un adalah waba’, tetapi tidak setiap waba’
adalah tha’un”, dan bahwa ini perlu ditekankan sebegitu seringnya sehingga
menunjukkan adanya kebingungan yang cukup besar pada saat itu.Ketika para
penulis dari empat abad pertama Islam menyebut waba’ dan tha’un, mereka
memiliki pemikiran umum bahwa waba’ adalah wabah penyakit, sementara tha’un
adalah sebuah penyakit yang spesifik.Memang ada kaitan yang erat di antara
keduanya, tetapi perbedaannya juga cukup jelas.[6]Sebagian
para ulama menyebutkan istilah penyakit ini (covid 19) sebagai tha’un yaitu
wabah yang mengakibatkan penduduk sakit dan berisiko menular.Ibn Sina (wafat
458/1066) mengutip Kitab al-‘ayn karya al-Khalil bin Ahmad (wafat 175/791)
ketika mendefinisikan tha’un sebagai “proliferasi penyakit”, dan al-Nawawi
(wafat 676/1277) merujuk pada leksikografi awal yang sama, yang memiliki
otoritas untuk menyamakan antara waba’ dan tha’un. Dalam frasa yang sama juga
dapat diartikan sebagai semacam dua kata yang tak terpisahkan, sejarawan
al-Baladhuri (wafat 279/892) menyatakan bahwa “waba’ dan tha’un melanda rakyat
Kufah.” Akhirnya, terdapat riwayat yang menyatakan bahwa Nabi memperingatkan
kaum Muslim bahwa jika tha’un melanda suatu wilayah yang mereka tidak ada di
sana, maka mereka tidak boleh memasukinya; meskipun ada banyak versi dari hadits
ini, di mana salah satunya menggunakan kata waba’ sebagai ganti kata tha’un.
Sementara
itu, al-Nawawi menjelaskan secara lebih rinci: "Tha’un merupakan pernyakit
berupa pustula purulen (quruh) yang mengalami erupsi pada tubuh, muncul di
selangkangan, atau di aksila, atau di tangan, atau di jari-jari dan di tempat
lain pada tubuh, disertai dengan pembengkakan dan rasa sakit yang hebat. Erupsi
tumor-tumor ini disertai oleh peradangan yang menimbulkan sensasi terbakar;
daerah di sekitarnya menghitam, dan menjadi gelap atau memerah, menjadi ungu
yang suram; disertai palpitasi detak jantung dan rasa mual.
Adapun waba’, al-Khalil dan yang
lainnya mengatakan bahwa ia berarti tha’un, juga berarti penyakit pada umumnya.
Tetapi, yang benar bahwa waba’ melibatkan suatu kondisi penyakit yang
mempengaruhi sebagian besar populasi pada satu wilayah tertentu, berbeda dengan
daerah lain. Ia berbeda dari penyakit biasa dalam hal prevalensi dan dalam hal
lain; di mana, dalam waba’, hanya satu jenis penyakit yang diderita oleh banyak
orang, berbeda dengan kondisi orang yang sakit yang mengalami berbagai jenis
penyakit. Setiap tha’un adalah waba’, tetapi tidak setiap waba’ adalah tha’un”
(Conrad, Tha’un dan Waba’ Konsep Plague dan Pestilence , 2020). Atas kajian konseptual
ini, Covid 19 dapat dipahami sebagai waba’.[7]
B. Shalat jumat di tengah Pandemi Perspektif Hukum Islam
Shalat jumat merupakan shalat yang wajib dilaksanakan secara
berjamaah oleh muslim yang sudah baligh, berakal, laki-laki, sehat, dan
menetap. Seiring terjadinya pandemi maka dalam hal ini ulama juga berbeda
pendapat tenang soal meninggalkan shalat jumat akibat corona dan menggantinya
dengan shalat zuhur.
1. Pendapat ulama yang tidak membolehkan peniadaan shalat jumat.
Para ulama yang tidak membolehkan
peniadaan shalt jumat berjamaah berpegang pada beberapa dalil berikut:
a. Firman Allah surat An-Nisak ayat 102
#sÎ)ur|MZä.öNÍkÏù|MôJs%r'sùãNßgs9no4qn=¢Á9$#öNà)tFù=sù×pxÿͬ!$sÛNåk÷]ÏiBy7tè¨B(#ÿrääzù'uø9uröNåktJysÎ=ór&
#sÎ*sù(#rßyÚy(#qçRqä3uù=sù`ÏBöNà6ͬ!#uurÏNù'tGø9urîpxÿͬ!$sÛ2t÷zé&óOs9(#q=|Áã(#q=|Áãù=sùy7yètB
(#räè{ù'uø9uröNèduõÏnöNåktJysÎ=ór&ur………..3ÇÊÉËÈ
102. dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka
berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka
(yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Pada ayat ini, Allah
mensyariatkan shalt berjamaah dalam keadaan perang. Artinya, kewajiban shalat
berjamaah dan shalat jumat tidak gugur dalam kondisi perang yang nyata, lalu
bagaimana mungkin kewajiban itu gugur hanya karena kekhwatiran yang belum
pasti, yaitu kekhawatiran terajngkit virus.
b. Surat Ar-Rum ayat 41
tygsßß$|¡xÿø9$#ÎûÎhy9ø9$#Ìóst7ø9$#ur$yJÎ/ôMt6|¡x.Ï÷r&Ĩ$¨Z9$#Nßgs)ÉãÏ9uÙ÷èt/
Ï%©!$#(#qè=ÏHxåöNßg¯=yès9tbqãèÅ_ötÇÍÊÈ
41. telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
pada ayat tersebut, Allah Swt
menjelaskan bahwa segala kerusakan, termasuk wabah dan penyakit merupakan
perbuatan tangan manusia dan adanya kerusakan itu ditujukan agar mereka kembali
ke jalan yang benar.
Dengan demikian ayat tersebut
menjelaskan bahwa solusi untuk segala maslah adalah kembali kepada Allah Swt
dengan bertaubat, beristigfar dan berdoa, bukan dengan meniadakan kewajiban
berupa shlat berjamaah dan shalt jumat.
c. Hadis Nabi Muhammad Saw tentang seorang lelaki buta yang
mendatangi nabi Saw, lalu bertanya ‘ Ya Rasulullah Saw! Tidak ada orang yang menuntun
saya ke masjid? Dia meminta keringanan kepada rasulullah agar diperbolehkan
shalat di rumah. Maka rasulullah memberikan keringanan baginya. Ketika orang
itu berpaling pulang, Rasulullah Saw memanggilnya, ‘apakah kamu mendengar suara
azan?’ dia menjawab, Ya.’ Rasulullah berkata, “kalau begitu, jawablah
(shalatlah)
pada hadist diatas, nabi tidak
mengizinkan orang buta untuk meninggalkan shalat berjamaah (termasuk shalat
jumat), padahal tidak ada orang yang menuntunnya ke masjid, dan resiko bahaya
sangat tinggi.
2. Pendapat ulama yang membolehkan meniadakan shalat jumat
Sebagaian besar para ulama
memperbolehkan meniadakan shalat jumat berlandaskan kepada kepada:
a. Hadis riwayat Imam
Al-Bukhari dan Imam Muslim
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. فَلاَ تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ.
قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ. فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا، قَالَ فَعَلَهُ
مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُخْرِجَكُمْ،
فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ
Ibnu Abbas berkata kepada muazinnya di hari
hujan turun, "Jika kamu telah membaca asyhadu anna Muhammadan Rasulullah
maka janganlah mengucapkan hayya 'alash shalah, ucapkanlah shalluu fi
buyutikum (salatlah kalian di rumah-rumah kalian). Maka tampak orang-orang
mengingkarinya, maka dia berkata: "Orang yang lebih baik dari saya (yaitu
Rasulullah) berbuat demikian. Sesungguhnya salat Jumat itu adalah azimah.Dan
saya tidak suka menyulitkan kalian, kalian berjalan di atas lumpur dan tanah
yang licin." (HR Al-Bukhari Muslim)
Hadis di atas memberikan
keringanan bagi seseorang untuk tidak mengikuti salat berjamaah atau Jumat
karena hujan lebat, sementara bahaya penyebaran virus Corona jauh lebih besar
dibanding bahaya yang timbul karena pergi salat dalam keadaan hujan lebat.
b.
Hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِىَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ،
قَالُوا: وَمَا الْعُذْرُ؟ قَالَ: خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ، لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ
الصَّلاَةُ الَّتِي صَلَّى
"Barang siapa mendengar orang
mengumandangkan adzan, dan tidak ada uzur yang menghalanginya dari memenuhi
panggilan itu.Para sahabat bertanya, 'Apakah uzur dimaksud?'Beliau menjawab,
‘Takut atau sakit.’ Maka, salat yang dia kerjakan tidak akan diterima”
Berdasarkan hadis itu, para ulama
fiqih berpendapat bahwa segala ketakutan yang berkaitan dengan nyawa, harta
atau keluarga merupakan alasan yang sah untuk meniadakan salat Jumat dan salat
berjamaah.[8]
c. Hadist Bukhari
Sesungguhnya ‘Umar ibn al-Khaththab ra keluar menuju Syam. Hingga
ketika sampai di Sargh, beliau ditemui oleh para Amir pasukan yakni Abu
‘Ubaidah ibn al-Jarrah dan para sahabatnya. Mereka memberitahukan kepadanya
bahwasanya wabah sedang melanda bumi Syam. Ibn ‘Abbas berkata: ‘Umar lalu
berkata: “Panggilkan untukku kaum Muhajirin awal (yang mengalami shalat ke dua
qiblat, yakni yang berhijrah sebelum qiblat dipindahkan ke Masjidil-Haram-Syarah
anNawawi).” Ia lalu bermusyawarah dengan mereka dan memberitahukan bahwa wabah
sedang melanda Syam. Mereka kemudian berbeda pendapat. Sebagian berkata: “Anda
sudah keluar untuk satu keperluan dan kami tidak memandang pantas anda kembali
darinya.” Sebagian lainnya berkata: “Anda membawa rombongan khususnya para
shahabat Rasulullah saw, kami tidak memandang baik anda membawa mereka masuk ke
wabah tersebut.” ‘Umar lalu berkata: “Silahkan kalian semua beranjak dari
tempatku. Kemudian ‘Umar berkata: “Panggilkan untukku kaum Anshar.” Maka aku
(Ibn ‘Abbas) panggil mereka dan ia lalu bermusyawarah dengan mereka. Ternyata
kaum Anshar berbeda pendapat seperti halnya Muhajirin. ‘Umar lalu berkata:
“Silahkan kalian semua beranjak dari tempatku. Kemudian ‘Umar berkata:
“Panggilkan untukku kaum tua Quraisy dari Muhajir al-Fath (yang hijrah sesudah
pindah qiblat dan sebelum Fathu Makkah).” Maka aku (Ibn ‘Abbas) panggil mereka.
Ternyata tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka, semuanya menyarankan:
“Sebaiknya anda pulang kembali bersama rombongan dan jangan membawa mereka
masuk ke wabah itu. Umar lalu menyerukan kepada rombongan: “Sungguh besok aku
akan berkendaraan pulang, maka bersiap-siaplah kalian.” Abu ‘Ubaidah ibn
al-Jarrah berkata: “Apakah engkau hendak lari dari taqdir Allah?” ‘Umar
menjawab: “Seandainya saja yang mengatakan itu bukan engkau wahai Abu ‘Ubaidah.
Ya, kami lari dari taqdir Allah menuju taqdir Allah juga. Bukankah jika kamu
menggembala unta dan turun ke sebuah lembah yang di sana ada dua tepi lembah,
yang satu subur dan yang satu tandus, lalu ketika kamu menggembala di tepi yang
subur berarti kamu menggembala dengan taqdir Allah? Dan bukankah pula ketika
kamu menggembala di tepi lembah yang tandus, kamu juga menggembalanya dengan
taqdir Allah?. Ibn ‘Abbas berkata: ‘Abdurrahman ibn ‘Auf kemudian datang, ia
tidak hadir musyawarah sebelumnya karena ada keperluan. ‘Abdurrahman lalu
berkata: “Aku punya ilmu tentang permasalahan ini. Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Jika kalian mendengar ada wabah di satu daerah, janganlah kalian
datang ke sana. Tetapi jika wabah itu menyerang satu daerah ketika kalian sudah
ada di daerah tersebut, janganlah kalian keluar melarikan diri darinya. Kata
Ibn ‘Abbas: ‘Umar lalu bertahmid kepada Allah dan kemudian pulang. (HR.
al-Bukhari)
Kemudian dalam hal ini Pemerintah Indonesia mengeluarkan PP 21
tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). Sebagai negara terbesar
yang berpenduduk muslim, kebijakan PSBB tentu bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan,
terutama apabila kebijakan tersebut dilihat dari sisi keagamaan, di mana
kebijakan tersebut akan mensyaratkan terjadinya banyak perubahan di dalam
pelaksanaan ritual keagamaan sehari-hari. Sejatinya, bukan umat Islam saja,
umat beragama lain juga harus rela melakukan hal sama. Harus siap pola ibadah
konggregasional (berjamaah) mereka dari ruang publik ke ruang privat, dari
tempat ibadah ke rumah.[9]
Lembaga otoritas keagamaan Indonesia yang diwakili oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sejak beberapa waktu yang lalu mengeluarkan Fatwa Nomor
14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah
Covid-19 yang juga meniadakan shalat Jumat dan shalat jamaah lima waktu di
masjid-masjid di daerah yang dikategorikan sebagai daerah yang berbahaya atau
zona merah. Fatwa ini juga mengharamkan mereka yang terinfeksi wabah tersebut
untuk datang shalat Jumat dan shalat jamaah di masjid.Fatwa MUI ini mendapat
dukungan dari berbagai organisasi masyarakat, baik dari NU, Muhammadiyah dan
juga lembaga-lembaga keagamaan lainnya serta para tokoh agama di
Indonesia.Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam
Situasi Terjadi Wabah Covid-19 mengandung sarat kepentingan pribadi lebih
didahulukan daripada kepentingan agama (umum) dan atau mendahulukan maslahat
daripada mudarat. Hal itu terlihat dari ketentuan hukum dalam fatwa MUI sebagai
berikut:
1. Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan
menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit,
karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama
(al-Dharuriyat al-Khams).
2. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan
mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat
Jumat dapat diganti dengan shalat Zuhur di tempat kediaman, karena shalat Jumat
merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang
terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktivitas
ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat
lima waktu/ rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya,
serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
3. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak
terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Dalam hal ia
berada di suatu
kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat
tinggi berdasarkan ketetapan
pihak yang berwenang
maka ia boleh meninggalkan shalat Jumat dan
menggantikannya dengan shalat Zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan
jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum
lainnya.
b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya
rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib
menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar
tidak terpapar virus Corona, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman,
berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan
dengan sabun.
4. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu
kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat
Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib
menggantikannya dengan shalat Zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga
tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan
diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima
waktu/ rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya,
serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
5. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib
menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang
melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat
Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian
umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.
6. Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya
penanggulangan COVID-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib
mentaatinya.
7. Pengurusan jenazah (tajhiz janazah) terpapar COVID-19, terutama
dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan
dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan
syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana
biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar COVID-19.
8. Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian
publik, seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun
masker dan menyebarkan informasi hoax terkait COVID-19 hukumnya haram.
9. Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap
shalat fardhu, memperbanyak shalawat, sedekah, serta senantiasa berdoa kepada
Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan
marabahaya ( daf’u al-bala’), khususnya dari wabah COVID-19.[10]
Dalam
impelementasi fatwa ini, Nur Hidayah menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia
terpolarisasi dalam merespon pandemi COVID-19 ini. Spektrum respons ini
terbentang dari ‘fear zone’ yang menganggap wabah ini telah menghalangi mereka
dari beribadah kepada Allah, kepada ‘learning zone’ yang merupakan mayoritas
dengan menerima wabah ini sebagai musibah dan teguran atas perbuatan manusia
merusak alam, hingga ‘growth zone’ yang mengambil peran aktif untuk menangani
wabah. Keragaman ini dilatari oleh perbedaan pengaruh teologis yang dianutnya
dari spektrum Jabbariyah ke Qadariyah hingga Islam Progresif.Pengaruh teologi
Jabbariyah membawa kepada sikap fatalisme, sedangkan pengaruh teologi Qadariyah
membawa kepada sikap menerima wabah sebagai musibah dan mengatributkan pandemi
kepada kesalahan manusia mengelola alam. Pengaruh teologi Islam progresif
membawa pada kelenturan penafsiran Islam yang berakar pada konsep Maqasid
al-Syariah untuk mendahulukan pencegahanmadharat ketimbang pencarian maslahat
dan ajaran amar ma’ruf nahyi munkar Islam sebagai agama yang aktif melakukan
transformasi sosial .[11]
Selanjutnya
berkaitan dengan salat berjamaah saat social distancing di tengah pandemi, ada
beberapa persoalan di dalamnya antara lain:
Pertama, Hukum
meluruskan dan merapatkan saf dalam salat berjamaah. Para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini, ada yang mengatakan sunah diantara Ulama yang
menghukumi sunnah dalam masalah shaf ini adalah Abu Hanifah, Syafi‟i, dan
Malik, Al-Qadhi „Iyadh, imam Nawawi dan jumhur ulama 4 mazhab lainnya. (Umdatul
Qari, 8/455). ada yang mengatakan wajib, diantara ulama yang mewajibkan adalah
Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Al Karmani, Ibnu Taimiyyah, Imam Bukhari, Imam
As-Syaukani dan jumhur ulama mazhab Hanbali. Bahkan ada yang mangatakahan lurus
dan rapatnya shaf bahagian dari rukun shalat. Pendapat ini dipegang oleh
Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy, beliau menyatakan „batal‟ orang shalat yang
tidak merapatkan shaf
Dalil-dalil
tentang perintah meluruskan saf sebagai berikut:
وَعَنْ
أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ
تَمَامِ الصَّلاَةِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
وَفِي
رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي : (( فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إقَامَةِ
الصَّلاَةِ )) .
Anas
radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk
kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim,
no. 433]
وَعَنْهُ
، قَالَ : أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : (( أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
وَتَرَاصُّوا ؛ فَإنِّي أرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ
بِلَفْظِهِ ، وَمُسْلِمٌ بِمَعْنَاهُ .
وَفِي
رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي: وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ
صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.
Anas
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian
berkata, ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena aku dapat melihat kalian dari
belakang punggungku.’” (HR. Bukhari dengan lafazhnya, sedangkan diriwayatkan
oleh Imam Muslim secara makna) [HR. Bukhari, no. 719 dan Muslim, no. 434]
Kedua,
Hukum merenggangkan shaf atau membuat jarak dalam shaf ketika
shalat berjamaah. Berikut inibeberapa kutipan pendapat Ulama terkait social
distancing shaf dalam shalat berjamaah:
وَيُكْرَهُ وُقُوْفُ الْـمَأْمُوْمِ فَرْدًا عَنْ صَفٍّ مِنْ جِنْسِهِ
لِلنَّهْيِ الصَّحِيْحِ عَنْهُ، وَدَلَّ عَلَى عَدَمِ البُطْلَانِ عَدَمُ أَمْرِهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِفَاعِلِهِ بِالإِعَادَةِ.
“Dimakruhkan
berdirinya makmum sendirian terpisah dari shaf shalat yang sejenis karena ada larangan
yang shahih (dari nabi) tentang hal ini. Hal yang menunjukkan ketidakbatalan
shalat ini adalah tidak adanya perintah Nabi SAW kepada pelakunya untuk
mengulangi lagi shalatnya”
Kemudian,
berkata Ibnu Hajar terkait shaf yang terpisah
نَعَمْ، إِنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الفَرَجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ
الحَرِّ بِالـمَسْجِدِ الحَرَامِ لَـمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِيْرِ فَلَا
تَفُوْتُهُمُ الفَضِيْلَةُ
“Tetapi
jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti cuaca panas di
masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh karena tidak ada kelalaian. Dan
mereka tidak kehilangan fadhilah shalat jama’ah”
Menurut
Imam An-Nawawi bahwa berdiri sendiri dalam saf adalah makruh, namun jika ada
uzur yang mengharuskan shaf itu berjarak maka shalat tetap sah. Kemudian,
berkaitan himbauan social distancing dalam shalat berjamaah dengan pertimbangan
kondisi darurat, maka hal tersebut sejalan dengan beberapa kaidah fikih, antara
lain :
اَلضَّرُورَات
تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Kemadharatan
itu membolehkan yang dilarang”
دَرْءُ الْمفَاسِدِ
مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak
mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat”[12]
MUI
juga mengeluarkan fatwa nomor 31 tahun 2020 yang memuat tentang sebagai
berikut:
1. Perenggangan shaf saat berjemaah
a. Meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) pada shalat berjamaah
merupakan keutamaan dan kesempurnaan berjamaah.
b. Shalat berjamaah dengan saf yang tidak lurus dan tidak rapat
hukumnya tetap sah tetapi kehilangan keutamaan dan kesempurnaan jamaah.
c. Untuk mencegah penularan wabah CIVID 19, penerapan phsycal distancing
saat shalat jamaah dengan cara merenggangkan safhukumnya boleh, shalatnya sah
dan tidak kehilangan keutamaan berjamaah karena kondisi tersebut sebagai hajat
syar’iyyah.
2. Pelaksanaan shalat jumat
a. Pada dasarnya shalat jumat hanya boleh diselenggarakan satu kali
di satu masjid pada satu kawasan.
b. Untuk mencegah penularanwabah COVID 19 maka penyelenggaraan shalat
jumat boleh menerapkan physical distancing dengan cara perenggangan saf.
c. Jika jamaah shalat jumat tidak dapat tertampung karena adanya
penerapan physical distancing, maka boleh diselenggarakan shalat jumat
berbilang (ta’addud al’jumu’ah) dengan menyelenggarakan shalat jumat ditempat
lainnya seperti mushalla, aula, gedung pertemuan, gedung olahraga, dan stadion.
d. Dalam hal masjid atau tempat lain masih tidak menampung jamaah
shalat jumat dan/atau tidak ada tempat lain untuk pelaksanaan shalat jumat,
maka sidang komisi fatwa MUI berbeda pendapat terhadap jamaah yang belum dapat
melaksanakan shalat jumat sebagi berikut:
-
Pendapat
pertama, jamaah boleh menyelenggarakan shalat jumat di masjid atau tempat lain
yang telah melaksanakan shalat jumat dengan model shift hukumnya sah.
-
Pendapat
kedua, jamaah melaksanakan shalat zuhur, baik secara sendiri maupun berjamaah,
dan pelaksanaan shalat jumat dengan model shift hukumnya tidak sah.
Terhadap
perbedaan pendapat diatas, dalam pelaksanaannya jamaah dapat memilih salah satu
di antara dua pendapat dengan mempertimbangkan keadaan dan kemaslahatan
diwilayah masing-masing.
3. Penggunaan masker saat shalat
a. Menggunakan masker yang menutup hidung saat shalat hukumnya boleh
dan shalatnya sah karena hidung tidak termasuk anggota badan yang harus
menempel pada tempat sujud saat shalat.
b. Menutup mulut saat shalat hukumnya makruh, kecuali adat hajat
syar’iyyah. Karena itu, shalat dengan memakai masker karena ada hajat untuk
mencegah penularan wabah COVID 19 hukumnya sah dan tidak makruh.[13]
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Asrorun Niam Sholehada tiga jenis orang yang tidak
melaksanakan sholatJumat.
Pertama, orang yang
tidak shalat jumat karena ingkar akan kewajiban jumat, maka dia dihukumi
sebagai kafir.
Kedua, orang
islam yang tidak shalat jumat karena malas. Ia meyakini bahwa kewajiban jumat
tapi tidak shalat juat karena kemalasan dan tanpa ada uzur syar’i, maka dia
berdosa atau ‘ashin.
Ketiga, orang
islam yang tidak melaksankan shalat jumat karena ada uzur syar’I dibolehkan.
Menurut pandangan ulama fikih uzur syar’i tidak shalat jumat antara lain sakit.
Ketika sakitnya lebih dari dari tiga kali jumat maka ia tidak shalat jumat tiga
kali berturut-turut pun tidak berdosa.
Dijelaskan
dalam kitab al-inshaf yang menyebutkan tentang Uzur yang
dibolehkan meninggalkan shalat Jumat juga jamaah ialah orang yang sakit tanpa
ada perbedaan di kalangan Ulama.Termasuk udzur juga yang dibolehkan
meninggalkan sholat Jumat juga jamaah ialah karena takut terjadinya sakit.[14]
C. Kesimpulan
Pelaksanaan shalat jumat pada asalnya hukumnya fardu ‘ain.
Kemudian ketika terjadinya wabah atau pandemi dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat tentang boleh tidaknya
meninggalkan shalat jumat dan menggantinya dengan shalat zuhur.Sebagaian
besar para ulama memperbolehkan meniadakan shalat jumat ketika seseorang berada
dalam kawasan yang penularan virusnya lebih tinggidan menggantinya dengan
shalat zuhur karena memperhatikan mudharatnya ketika melakasankan shalat jumat
lebih besar daripada manfaatnya.Jika wabah sudah menyebar luas, serta
dikhawatirkan terjadi penularan, maka salat Jumat tidak lagi wajib dilakukan.Para
ulama bersumber kepada dalil hadist dan kaidah-kaidah fikih. Kemudian ketika seseorang
berada dalam kawasan yang penularan virusnya lebih rendah diperbolehkan shalat
berjamaah termasuk shalat jumat, namun
dengan jalan sosial distancing. Kebolehan sosial distancing dalam pengaturan
saf shalat karena memperhatikan hajat syar’i.shalat tetap sah dan dibolehkan
dilakukan sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus corona.
Daftar
Pustaka
Abdul Aziz, Muhammad Azzam dan
Sayyed Hawwas Abdul Wahhab, Fiqih Ibadah, Jakarta, 2006.
Al-Qur’anul Karim dan Terjemahan
Ansory, Isnan, Fiqih
Menghadapi Wabah Penyakit, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.
Az-Zuhaili, Wahbah, Terjemahn
Fiqih Islam wa Adillatuhu JIlid II, Jakarta: Gema Insani, 2010.
Conrad, L. I, Tha’un and Waba’
Konsep Plague dan Pestilence .Retrieved April 30, 2020.
Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020
Tentang penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid 19.
Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020
Tentang Penyelengaaraan Shalat Jum’at dan jamaah untuk mencegah penularan wabah covid 19.
Ghafur, Abdul, Konstruksi
Sosial Keagamaan Masyarakat Pada Masa Pandemic Covid 19, Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam,
Volume 6, Nomor 2, Agustus 2020.
Hidayah, Nur, Dari Jabariyah, ke Qadariyah, hingga Islam
Progresif: Respons Muslim atas Wabah Corona di Indonesia, Salam: Jurnal
Sosial dan Budaya Syar'i, 7 (6), 2020.
https://kalam.sindonews.com/berita/1560967/69/hukum-meninggalkan-salat-jumat-karena-wabah-corona. Diakses
tanggal 20 Oktober 2020.
Nasir,Agus, Social Distancing
Dalam Saf Salat Berjamaah (Perbandingan Ulama dalam Mazhab), Jurnal Perbandingan Mazhab dan Hukum Mazahibuna,
volume 2, nomor 1, 2020.
Rusyana dkk, Fatwa
penyelenggaraan ibadah di saat pandemi Covid-19 di Indonesia dan Mesir, Article, 2020.
Shiddieq, Umay M. dja’far,
Syari’ah Ibadah, Jakarta Pusat: alGhuraba.
[1] Umay M. dja’far Shiddieq, Syari’ah Ibadah, Jakarta Pusat: alGhuraba, Hal. 75
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Terjemahn Fiqih Islam wa Adillatuhu JIlid II, Jakarta: Gema Insani, 2010, hal.374-375
[3]Opcit, hal. 75
[4] Wahbah Az-Zuhaili, Terjemahn Fiqih Islam wa Adillatuhu JIlid II, Jakarta: Gema Insani, 2010, hal.384-385
[5]Muhammad Azzam Abdul Aziz dan Sayyed Hawwas Abdul Wahhab, Fiqih Ibadah, Jakarta. Hal : 128
[6] Conrad, L. I. Tha’un and Waba’ Konsep Plague dan Pestilence . Retrieved April 30, 2020
[7]Rusyana dkk,Fatwa penyelenggaraan ibadah di saat pandemi Covid-19 di Indonesia dan Mesir, Article, 2020, Hal.3
[8]https://kalam.sindonews.com/berita/1560967/69/hukum-meninggalkan-salat-jumat-karena-wabah-corona.
[9]Ibid, Hal. 4
[10] Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 Tentang penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid 19
[11]Nur Hidayah, (2020). Dari Jabariyah, ke Qadariyah, hingga Islam Progresif: Respons Muslim atas Wabah Corona di Indonesia. Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar'i, 7 (6), 57.
[12]Agus Nasir, Social Distancing Dalam Saf Salat Berjamaah (Perbandingan Ulama dalam Mazhab), jurnal perbandingan mazhab dan hukum mazahibuna, volume 2, nomor 1, 2020, Hal.31-35
[13]Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 Tentang Penyelengaaraan Shalat Jum’at dan jamaah untuk mencegah penularan wabah covid 19.
[14] Abdul Ghafur, Konstruksi Sosial Keagamaan Masyarakat Pada Masa Pandemic Covid 19, Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2020, Hal. 291
Komentar